jangan menangis, indonesia
malang dan mujur silih berganti
jangan menangis, indonesia
kejayaan dan keruntuhan silih berganti
jangan menangis, indonesia
manis dan pahit
susah dan senang
sakit dan bahagia
lapar dan kenyang
silih berganti
jangan menangis, indonesia
tak ada puasa terus-menerus
tak ada pesta terus-menerus
pesta akan ditagih ongkos kenikmatan
puasa akan temukan hari lebaran
jangan menangis, indonesia
tawa dan tangis silih berganti
Puisi di atas adalah puisi Akhudiat, yang termuat di antologi puisi dan geguritan ‘Malsasa’ 2005, dengan judul ‘Jangan Menangis Indonesia. Ia tidak hanya menulis puisi dan cerpen, sebagai sastrawan; tapi juga menulis naskah drama dan kerapkali memenangkan di tingkat nasional.
Diat, demikian nama panggilannya. Akhudiat, lahir di Rogojampi, Banyuwangi, Jawa Timur, pada tanggal 5 Mei 1946. Ayahnya, Akwan (lahir tahun 1925), adalah seorang petani yang tekun di desa Karanganyar, Kecamatan Rogojampi, Kabupaten Banyuwangi. Sedangkan ibunya, bernama Musarapah (kelahiran tahun 1930).
Menikah dengan Mulyani pada tanggal 4 November 1974. Bersama istrinya ini, Akhudiat, mempunyai tiga anak, yaitu: Ayesha Mutiara Diat (perempuan, lahir tahun 1975), Andre Muhammad Diat (laki-laki, lahir tahun 1976), dan Yasmin Fitrida Diat (perempuan, lahir tahun 1978).
Bersama keluarganya, sekarang Akhudiat beralamat di Jalan Gayungan PTT 51-E Surabaya. Budaya pesantren yang kental dan dikenal oleh Diat sejak kecil, membentuk pribadi seorang Akhudiat yang bersahaja.
Sekolah dan Bekerja
Sekolah awalnya, Diat memasuki Sekolah Rakyat (SR) Rogojampi, Banyuwangi dan lulus pada tahun 1958. Setelah itu, dengan penghasilan dari sawah dan kebun kelapa warisan kakek-nenek, ia melanjutkan sekolah di Pendidikan Guru Agama Pertama Negeri (PGAPN) IV Jember. Di sekolah ini, Diat lulus tahun 1962. Dari PGAPN Jember, Akhudiat melanjutkan sekolah di PGAA Malang. Hal tersebut dilakukannya sambil mengajar di beberapa SMP/SMA, serta madrasah tsanawiyah/aliyah. Selepas itu, Diat belajar di Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN) III Yogyakarta, dan mengantongi ijazah tahun 1965. Tidak hanya itu, pada sekitar tahun 1972—1973, Akhudiat, pernah kuliah di Akademi Wartawan Surabaya (AWS), namun tidak diselesaikannya.
Akhudiat juga ikut kursus Bahasa Inggris di Lembaga Indonesia Amerika (LIA) Jalan Dr. Soetomo Surabaya, hingga tingkat advance. Gelar sarjananya didapatkan pada tahun 1992 dari Universitas Terbuka (UT) Fakultas Ilmu Sosial (FISIPOL). Sebagai seorang sastrawan, Akhudiat, tidak hanya sekolah formal seperti tersebut di atas, tapi juga mengikuti: International Writing Program, University of Iowa, Iowa City, USA, pada tahun 1975.
Sewaktu masih sekolah di PGAA Malang, Diat pernah mengajar di beberapa SMP/SMA, Madrasah Tsanawiyah/Aliyah. Menurut catatan Akhudiat, bahwa lulusan SHD (Sekolah Hakim Djaksa) akan menjadi panitera pengadilan negeri, sedangan lulusan PHIN (Pendidikan Hakim Islam Negeri) akan menjadi panitera pengadilan agama. Tapi apa yang terjadi? Akhudiat, yang lulusan PHIN Yogyakarta itu, mendapatkan Surat Keputusan Menteri Agama RI yang berisi pengangkatan sebagai pegawai negeri sipil di Kantor Pusat Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Sunan Ampel Surabaya, sejak tahun 1970. Jabatan terakhir yang disandang Akhudiat adalah Kepala Bagian Kemahasiswaan, Kantor Pusat IAIN Sunan Ampel Surabaya, dan pensiun pada tahun 2002. Setelah pensiun, sejak tahun 2002 hingga sekarang ini, ia menjadi Dosen Luar Biasa pada Fakultas Adab IAIN Sunan Ampel Surabaya.
Aktivitas dalam dunia seni dan budaya, utamanya sastra dan teater, mengantarkan Akhudiat untuk dapat kepercayaan menjabat sebagai Komite Sastra dan Teater pada Dewan Kesenian Surabaya tahun 1972—1982. Pada tahun yang sama (1972—1982) sebagai sutradara dan penulis naskah teater di komunitas Bengkel Muda Surabaya (BMS). Jabatan lainnya, ia anggota pleno di Dewan Kesenian Jawa Timur (DKJT), dari tahun 1999 hingga sekarang. Menjabat sebagai steering committee Festival Seni Surabaya (FSS) dari tahun 2000 hingga sekarang.
Dunia Sastra
Seperti yang telah dikemukakan di atas, bahwa Akhudiat adalah anak desa yang lahir di Rogojampi, Banyuwangi. Sejak masih sekolah di tingkat Sekolah Rakyat (SR) —sekarang Sekolah Dasar (SD)— ia sudah sangat gemar membaca. Segala buku dibacanya, dari bacaan komik Gareng-Petruk, hingga ensiklopedia kesehatan.
Menarik sekali, ketika di depan sekolahnya terdapat kedai/toko buku yang sekaligus merangkap agen koran dan majalah; sehingga Akhudiat kecil bisa mengintip/mencuri-curi baca saat istirahat sekolah. Bahkan di rumah Pakdenya yang Jururawat, banyak sekali tumpukan koran dan majalah terbitan Surabaya dan Yogya, sehingga ia dengan leluasa bisa membacanya. Diantaranya ada Minggu Pagi (Yogya), Terang Bulan (Surabaya), serta buku-buku tebal tentang kesehatan. Di rumah pamannya yang lain, bernama Paman Ahim, Akhudiat, membaca majalah Indian Film (Surabaya), lantas di rumah Guru Rasad membaca habis majalah Wijaya (Surabaya), buku-buku serial Naga Mas (Surabaya), dan Serikat 17 (Jakarta). Di rumah teman mainnya yang terbuka siang dan malam, Diat bisa membaca habis konik Mahabarata dan Ramayana karya Kosasih.
Menurut pengakuan Akhudiat, buku yang sangat menarik perhatiannya sewaktu usia SR adalah buku-buku karya Motinggo Bosye (1937—1999) pada koran Minggu Pagi, dan Supriyadi Tomodihardjo (kini di Belanda) pada koran Terompet Masyarakat.
Selain bacaan yang banyak, kepekaan Diat diperkaya juga dengan pengalaman masa kecilnya yang suka menonton bioskop, sandiwara keliling berbahasa Indonesia, seperti: Bintang Surabaya, Gema Masa, Kintamani, Opera Melayu, Ketoprak, Wayang Orang, dan Ludruk. Dia, Akhudiat, juga menonton Kentrung Trenggalek, Rengganis, yakni sejenis wayang menak dengan tokoh Amir Ambyah, Umarmoyo, Umarmadi, Putri, China, Jin Baghdad, Lamdahur. Tidak itu saja, ia menonton juga Orkes Melayu, Wayang Potehi, Sandiwara Misri, dan banyak lagi. Itulah yang kemudian menjadikan Akhudiat kaya referensi tentang seni dan budaya, dan bahkan ia bisa menulis cerpen, puisi, dan naskah drama.
Sewaktu masih di Yogyakarta, sekitar tahun 1962—1965, ia lebih sering keluyuran ke perpustakaan, toko-toko buku, pasar loak buku, melihat pementasan drama dan pameran lukisan. Lukisan yang paling ia sukai adalah karya Isnaeni, pelukis Sanggar Bambu yang selalu memakai celana pendek. Pementasan drama yang pernah ia saksikan dan masih berkesan adalah Iblis (Mohammad Diponegoro), Setan-setan Tua (Arifin C. Noer), Hai yang di Luar Itu (terjemahan William Saroyan) yang dimainkan mahasiswa UGM, dengan sutradara WS Rendra, sebelum berangkat ke New York, Amerika Serikat.
Akhudiat juga mengaku pernah ikut kursus akting di Teater Muslim pimpinan Mohamad Diponegoro dan juga berguru pada teater milik Arifien C. Noer. Menurut pengakuannya, Yogyakarta merupakan kota yang membekalinya dengan kosakata teater. Ucapan Arifien C. Noer yang selalu dia ingat adalah, “Bacalah naskah drama, pelajari dialog-dialognya, kamu akan bisa menulis naskah sendiri.”
Sejak saat itu, Akhudiat ingin belajar menulis drama dengan langsung belajar dari naskah jadi yang dipunyainya. Di samping itu, ia juga belajar dengan cara membaca naskah, seperti Malam Jahanam (tragedi), Nyonya dan Nyonya (farce-play, banyolan), Iblis, Timadar, dan banyak lagi.
Di kampungnya sendiri, Rogojampi, ia mengaku pernah mementaskan drama Jebakan Maut (sayang, ia lupa nama pengarangnya), dan Akhudiat bahkan jadi aktor, yang berperan sebagai dokter, dengan menutup lakon dengan teriakan’ “Vox populi vox Dei” (suara rakyat adalah suara Tuhan.)
0 comments:
Posting Komentar