Kabar kepastian tempat makam Tini datang beberapa tahun lalu. Kepastian ini berawal ketika ada dealer sepeda motor dari Surabaya berhasrat membeli tanah pekuburan tersebut untuk dibanguni gedung yang difungsikan sebagai gudang motor dan suku cadang. Namun, masyarakat sekitar kompleks pemakaman menolak niat itu dengan menyebar berbagai gosip mistik. Di antaranya informasi bahwa mereka sering melihat sesosok arwah menyembul dari pekuburannya di malam-malam tertentu. Arwah itu berjalan melayang, dan kemudian berdiri di bawah pohon sawo di pintulingkung kecilpekuburan itu. Ia menteng kelek seperti berjaga-jaga agar makam tidak diganggu orang. Entah benar atau tidak, arwah tersebut adalah wanita berkebaya yang menyerupai Tini. Seorang tua di desa itu merasa pernah melihatnya dengan jelas. Dan, ia percaya betul dengan matanya. Apalagi ia mengaku kenal dengan Tini, wanita yang seumur-umur berprofesi sebagai pembantu rumah tangga.
Dan orang tua itu berkata, ketika sekeping bulan sudah jatuh di ufuk sebelum dini hari, arwah Tini kembali ke tanah kediamannya, atau masuk ke pekuburannya. Dari orang tua inilah Ibuku percaya bahwa itulah pusara Tini.
Prahara di hutan jati
Ibu saya bercerita betapa sebagai pembantu rumah tangga Tini sudah menjadi bagian dari keluarga.
“Mbok Tini sudah ikut Engkong, sejak Mami berusia tujuh tahun,” kata Ibu.
Dalam perjalanan pulang dari kuburan, Ibu saya bercerita mengenai pembantu yang sangat disayanginya itu.
Tini pergi dari desanya, pedalaman kota Lasem pada awal tahun 1930-an. Tak jelas benar apa perkara yang menyebabkan Tini pergi dari sana. Konon lantaran pada waktu itu sekompi serdadu Belanda masuk ke Lasem dalam rangka mencari lahan-lahan yang menghasilkan kayu jati. Pohon yang masih muda dipelihara, dan pohon-pohon yang sudah tua ditebangi. Dalam kaitan dengan proyek tersebut Pemerintah Belanda membutuhkan kuli-kuli. Suami Tini tercatat sebagai lelaki yang harus bekerja melakukan penebangan besar-besaran itu. Namun, suami Tini menolak. Sejumlah tentara Belanda agaknya merasa tersinggung, dan setiap penolakan dianggap sebagai awal pemberontakan. Keluarga Tini pun dianggap sebagai buron dan rumahnya dibikin porak poranda. Prahara di hutan jati pun terjadilah. Tini oleh suaminya disembunyikan di rumah kakaknya untuk kemudian dilarikan ke luar desa. Dan suami Tini, dengan seorang anak lelakinya yang masih balita, memisahkan diri serta bersembunyi di suatu tempat, di selisik hutan jati yang dalam dan gelap.
Dalam melangkahi waktu, mungkin Tini pernah berencana banyak tentang sesuatu. Namun, garis nasib sering merancang hal ihwal terlebih dahulu. Karenanya, setelah berdiam sejenak di rumah kakaknya, dan setelah tak tahu lagi nasib suami dan anaknya, Tini diperkenalkan kepada seseorang yang biasa mencarikan pekerjaan untuk wanita yang sebatangkara. Dari sini ia mencoba kehidupan yang mungkin dirasa aneh.
Tini di Rogojampi
Syahdan di Rogojampi ada keluarga besar Tionghoa. Kepala keluarga itu bernama Lim Len Tjeng. Ia sedang membangun banyak rumah di kota kecil ujung Jawa Timur tersebut. Rumah-rumah itu kemudian disewakan kepada siapa saja yang ingin hidup di sana. Konglomerat Liem Len Tjeng berpikir bahwa pada suatu saat Rogojampi akan berkembang, dan bakal menjadi daerah hunian yang memadai. Tuan Lim melihat betapa Pemerintah Belanda punya komitmen untuk bekerja sama dengan kaum intelektual bumiputra untuk memajukan kota yang sejuk itu. Infrastrukturnya sudah mulai dibentuk. Ada pabrik beras, pengolahan kopra, klinik, apotek, jalan aspal, pegadaian, masjid, gereja dan klenteng Tan Hoo Cin Jin yang bagus. Juga sekolah-sekolah. Di kota ini bahkan telah didatangkan seorang guru dan seniman dari Batavia yang bernama Sindudarsono Sudjojono untuk memimpin sekolah yang didirikan Taman Siswa. Konon untuk memajukan pendidikan rakyat yang tadinya hanya sampai pada kelas ongkoloro .
Apa yang dipikirkan Lim Len Tjeng tidak melenceng. Banyak orang dari luar kota pindah ke Rogojampi, dan hidup tenteram sebagai penghuni. Di sinilah Tini terdampar. Dan singgah sebagai pembantu rumah tangga keluarga Engkong saya. Dan Engkong menempati sebuah rumah amat besar untuk ukuran di Rogojampi. Rumah itu disewa dari Tuan Lim itu. Di rumah itulah Tini bekerja.
Tini tampaknya hidup bahagia. Ia menunaikan tugasnya sebagai pembantu dengan baik. Keluarga Engkong memperlakukannya seperti anggota keluarga. Tini memiliki kamar tidur yang ia pilih sendiri. Pada suatu masa ia memilih tidur di sebuah bilik dekat sepen. YANG letaknya bagian belakang rumah. Enak kamarnya, keluasan ruang serta ventilasi cahaya cukup. Dia sangat situ. Bebas, ngorok, mengigau semau apa dia mau. Yang penting bangun tugas pagi dimulai, tidak berangkat malam sebelum pekerjaan dirasa usai. Hal lain menyebabkan bahagia situ adalah karena, seperti dituturkannya, pintu jendela kamarnya ngadep wetan, atau menghadap Timur. Di depannya ada halaman terbuka, sehingga bisa menanam perdu kemangi pohon susu. setiap kali memetik buah terong susu berbentuk lucu itu, dan diberikan kepada salah satu anak Engkong jumlahnya sembilan. Namun, ketika menderita sakit, diminta kamar saya. dengan serta-merta memasang tikar kolong ranjang besi yang tinggi. Ia tidur di sana berminggu-minggu. Bahkan, kemudian bertahun-tahun, karena Ibu saya ingin ia meninggalkannya. Dan, Tini tak pernah sedikit pun menolak.
Tini bertemu utusan Brosot
Tahun berbilang, sampai Engkong meninggal. Anak-anak Engkong sebagian telah tersebar. Yang perempuan ada yang ikut suaminya, yang lelaki ada yang bekerja di luar kota. Dan Ibu saya akhirnya ketemu jodoh, menikah dengan seorang lelaki tinggi besar, berwibawa, aktivis sosial, yang kemudian saya sebut sebagai ayah saya. Karena merasa mubazir bila menempati rumah terlalu besar, Ibu dan Ayah mencari rumah yang lebih kecil. Dan Tini dengan setia ikut serta sebagai pembantu rumah tangga.
Pada suatu hari, Ibu saya bertanya kepada Tini, apakah tak ada kabar sama sekali tentang suami dan anaknya. Ia menjawab, tidak. Apakah ia tidak ingin kawin lagi. Ia menjawab, belum. Bahkan, Ibu saya menawari, apabila ia ketemu jodoh di Rogojampi, Ibu bersedia menjadi wali, dan siap untuk membuat pestanya. Gandrung Banyuwangi atau angklung carok akan mengisi keramaian perhelatannya. Bahkan, seorang anak Ibu yang jadi pelukis, Tan Khing Hoo namanya, akan mengabadikan mempelai dalam kanvas dan cat penuh warna. Namun, Tini belum ingin kawin lagi. Ia berkata bahwa sebelum tahu dengan pasti nasib suaminya, dan belum bertemu dengan anaknya, dirinya tak akan memutuskan apa-apa. Meskipun jauh hari ia mendengar kabar bahwa suaminya telah mati dan anaknya pergi ke medan kehidupan yang jauh, jauh, jauh entah di mana.
Berpuluh tahun kemudian, sekonyong-konyong datang seorang pemuda ke Rogojampi. Ia mencari seorang wanita. Usianya sekitar 55 tahun, berwajah lumayan cantik, kulitnya agak hitam dan bagus. Suaranya jernih dan termasuk suka tertawa. Alisnya tebal dengan mata yang bersinar seperti milik pilemsetar Miss Rukiah. Wanita ini diinformasikan sudah lebih dari 30 tahun meninggalkan desanya, di Utara Lasem. Dan wanita itu bernama Tini. Pemuda itu datang dari Lasem, dan mengaku diutus seorang lelaki bernama Brosot untuk mencari ibunya.
Tini sesenggukan mendengar kabar bahwa anaknya, Brosot, ternyata masih sehat-sehat saja dan masih ingat kepadanya. Dan ia lebih bersyukur ketika tahu bahwa anaknya masih tinggal di daerah Lasem. Setidaknya kabar gembira tentang anaknya ini menutup kesedihannya yang mendalam, yang berkait dengan suaminya, yang dikabarkan sudah benar-benar tiada.
Tini memohon kepada Ibu agar diizinkan pergi menuju Lasem. Tentu saja Ibu mengizinkan dengan penuh bahagia. Ibu berkata, apabila Tini kerasan hidup di Lasem bersama anaknya, ya, tak usah kembali ke Rogojampi. Setelah Ibu memberikan seluruh gaji yang dititipkan, Tini mohon pamit. Ibu dan Tini berpelukan dengan disaksikan Ayah dan sejumlah anaknya. (Sayang saya tak sempat ikut melihatnya).
Di Lasem Tini bertemu Brosot. Tini yakin benar itu adalah Brosot, walaupun tiada surat atau identifikasi satu pun yang bisa dipakai sebagai bukti. Oleh karena itu, uang yang dibawanya dari Rogojampi ia belikan sepasang sapi, dua pasang kambing, tujuh bebek serta seekor pejantan. Ia beli tanah beberapa ratus meter persegi untuk pemeliharaan dan pembiakan hewan-hewan itu. Hati Tini berseri-seri menghadapi kehidupan yang baru.
Tapi belum seratus hari Tini tinggal bersama anaknya, perasaan tidak kerasan sudah mulai menganggu. Hidupnya merasa disia-siakan. Ia merasa tidak dihargai sebagai Ibu. Brosot sering tidak ada di rumah, dan menganggap rindu-rindu Ibunya bagai tidak ada sentuhannya, bagai tak pernah ada serta tiada gunanya. Namun, Tini tetap sangat menyayangi anaknya, dan tak pernah sekalipun menggugat perilaku Brosot yang sangat mengecewakan itu. Tini lalu memutuskan untuk balik ke Rogojampi. Dan sebelum pergi ia berkata.
“Setahun lagi Ibu balik, Nak. Ibu akan selalu rindu kepadamu”.
Tini dan “Tabik-tabik Noni”
Setahun kali ini, sungguh terasa bagai sepuluh tahun bagi Tini. Brosot dan segenap hewan ternak pemberiannya seperti terus memanggil-manggil. Dan Rogojampi yang pernah memeluk kehidupannya selama berberapa windu, setiap kali seperti membujuknya untuk pulang lagi ke Lasem. Ia ingin mencium kening anaknya. Ia ingin melihat bagaimana sapi-sapi, kambing-kambing serta bebek-bebek berkembang biak dan memberikan kehidupan yang bagus kepada anaknya.
Ketika kerinduan itu sudah tiada terbilang, ia pun berpamitan kepada Ibu. Kali ini dengan isak tangis yang sangat mendalam, karena Tini bilang ia tidak akan balik lagi ke Rogojampi. Ia akan hidup bersama anaknya di Lasem, sampai hayat dikandung badan. Ibu juga terharu. Namun, Tini mungkin tersadar bahwa perpisahan itu tidak perlu dimasukkan benar dalam ceruk-ceruk perasaan. Dan lucu, mungkin sambil berusaha menghibur-hibur, ia lalu menyanyikan lagu Tabik-tabik Noni atawa Baboe Maoe Poelang. Lagu yang katanya sering ia dengar di Jaarbeurs, atau pasar malam tahunan zaman Belanda, ketika ia sering mengantar Ibu dan kakak-kakak Ibu dulu.
Tabik-tabik Noni, Baboe maoe poelang
Poelang ke tana moela, si Baboe soeda toea
Kaloe Baboe mati, djangan kasi boenga
Kirim aermata, si Baboe soeda trima.
Caca marica oe oe… cacamarica oe oe…
Cacamarica, si Baboe soeda toea…
Syair tersebut dinyanyikan seperti lagu “Mana di mana, anak kambing saya…”. Ibu tersenyum mendengar lagu itu. Tini juga. Ibu kemudian mengantar Tini sampai dipertelon, dan menghilang di selinapan pintu bus yang mengangkutnya ke kampung halaman.
Namun, siklus perjalanan hidup Tini semakin sempit saja. Belum seminggu ia sudah muncul lagi di hadapan Ibu, di Rogojampi. Wajahnya kusut. Setelah ia menaruh sepuluh kue lepat sebagai buah tangan dari Lasem, dan sambil menyeret kopor kulitnya yang lusuh ke kamar yang masih saja disediakan oleh Ibu, Tini mengomel.
“Brosot sudah tak ada di kampung. Sapi, kambing, bebek, semua sudah tidak ada. Orang kampung juga tidak tahu dia ke mana. Dia minggat dari kampung. Minggat. Ada yang bilang Brosot jadi pedagang sepeda motor di Surabaya! Apa iya Brosot…. Brosot! Aku kok tidak percaya….” Tini menangis dengan suara yang dalam teredam.
Sejak itu, Tini menjadi sakit-sakitan. Meski dirinya memaksa diri bekerja, namun ia tidak mau makan. Badannya kurus tak kepalang. Kondisi kesehatannya terus merosot. Ia sering mengigau dan linglung. Nama Brosot setiap kali disebutnya dengan lirih, dengan rasa derita yang sulit diterjemahkan.. Sampai akhirnya sang waktu menutup pintu. Tini meninggal dengan ditunggui Ibu.
Sebagai penutup
“Tahun ini, berarti tahun ke-30 kematian Mbok Tini. Rasanya belum lama”, kata saya kepada Ibu di sebuah pematang kering yang kami lewati.
Ibu tak menyahut. Di kerut pipinya yang sangat tua terlihat setitik air mata.
(Untuk mendiang Mbok Tini dan Mbok Barina, pembantu keluarga saya)
Agus Dermawan T
sumber :
http://cerpenkompas.wordpress.com/2003/07/20/tabik-dari-tini/
0 comments:
Posting Komentar