“Apakah orang tuamu seorang diplomat atau bekerja di luar negeri ketika kamu lahir?”
“Orangtua saya pedagang dan saya lahir di Indonesia, pak.”
“Loh, bukankah Glenmore itu di Eropa atau Amerika?,”
“Ah nggak pak. Glenmore itu nama kecamatan di Banyuwangi,” katanya.
“Oh, I’am very surprised,” kata petugas HRD tadi.
“Orangtua saya pedagang dan saya lahir di Indonesia, pak.”
“Loh, bukankah Glenmore itu di Eropa atau Amerika?,”
“Ah nggak pak. Glenmore itu nama kecamatan di Banyuwangi,” katanya.
“Oh, I’am very surprised,” kata petugas HRD tadi.
Nama Glenmore sering melemparkan asumsi orang tentang sebuah tempat di Eropa yang sejuk dan kadang berselimut salju. Padahal ini nama sebuah kecamatan yang terletak di ujung timur Pulau Jawa. Glenmore memang terkesan seperti kosakata Inggris. Dibanding nama kecamatan lain yang lebih “njawani” seperti Siliragung, Bangorejo, Tegaldlimo, Cluring, Gambiran, dan Srono, nama Glenmore terdengar asing dan berbeda. Bukan hanya kebarat-baratan serta easy lestening, tapi juga keren abis.
Nama Glenmore yang asing itu sering memicu rasa penasaran untuk mencari tahu asal usulnya. Pasalnya, setiap nama pasti punya sejarah dan jalan ceritanya sendiri. Seperti Banyuwangi yang semula dikenal dengan Blambangan. Begitu juga Glenmore yang asal-usul dan sejarah namanya belum terungkap jelas. Yang ada hanya cerita lisan yang serba samar-samar. Maklum, tidak ada dokumen tertulis, apalagi prasasti, kenapa daerah ini dinamakan Glenmore. Yang sekadar tafsir berdasarkan cerita dari mulut ke mulut.
Glenmore merupakan daerah perkebunan dengan hawa yang lebih sejuk dibanding Kecamatan Ketapang di bagian timur Kota Banyuwangi, misalnya. Tapi, udara di Glenmore kalah sejuk dibandingkan Kalibaru, kecamatan tetangga di bagian barat. Selain nama yang asing, jejak-jejak berbau asing, terutama peninggalan kolonial Belanda masih ditemukan saat ini. Selain stasiun kereta api, ada juga jembatan, hingga gudang dan peralatan pabrik di perkebunan. Namun, tidak satu pun yang menceritakan “asbabun nuzul” tentang nama Glenmore.
Sebagian besar orang meyakini Glenmore merupakan gabungan dari dua kosa kata yakni “Glen” dan“More”. Kata Glen untuk menggambarkan daerah berhawa sejuk yang memiliki hamparan lahan berkontur. Sedangkan More untuk menunjukkan daerah ini memiliki hamparan berkontur yang lebih banyak dibandingkan dengan daerah di sekitarnya. Gabungan dua kata itu kemudian disatukan menjadi Glenmore. Konon, gabungan dua kosakata ini banyak digunakan oleh warga Belanda yang menghuni daerah ini sejak abad ke-18. Tapi, dugaan ini sulit dicari pembenarannya karena tidak ada bukti yang kuat.
Versi lain menyebutkan nama Glenmore tidak lepas dari Ros Taylor, bangsawan Skotlandia yang membeli lahan perkebunan di daerah ini. Izin pembukaan lahan ini ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 24 Februari 1909 dan diumumkan di Javasche Courant tanggal 30 Maret 1909. Javasche Courant merupakan lembar penyebaran informasi tentang perundangan yang menjadi cikal bakal Berita Negara yang kita kenal sekarang. Berita Negara pertama kali dipakai pada tahun 1810 dengan namaBataviasche Koloniale Courant yang kemudian berubah menjadi Javasche Courant pada tahun 1815.
Lahan perkebunan seluas 163.800 hektar itu baru resmi dibuka pada tahun 1910. Kepemilikan perkebunan ini sempat berpindah tangan ke penugsaha Liem Tek Hie setelah Perang Dunia II. Tapi, setelah pergolakan politik pertengahan tahun 1960-an, perkebunan ini jatuh ke tangan petani penggarap tahun 1969. Kepemilikan perkebunan ini terus beralih hingga perusahaan perkebunan Margosuko Group masuk pada tahun 1980 hingga sekarang.
Menurut versi ini, Ros Taylor sangat dihormati oleh penduduk lokal maupun warga Belanda karena kekayaan dan status sosialnya. Sebagai penghormatan kepada bangsawan Skotlandia ini Belanda menamai perkebunan yang telah dibeli dengan nama Glenmore. Kata Glen untuk menggambarkan lahan perkebunan yang berkontur dan sangat luas. Sedangkan More merupakan marga keluarga besar Taylor. Jadi, Glenmore merupakan lahan berkontur yang luas milik keluarga More.
Salah satu bukti untuk memperkuat asumsi ini adalah adanya perkebunan Glen Falloch dan Glen Nevis di Kecamatan Glenmore. Tapi, Nama Falloch dan Nevis tidak sampai menjadi nama suatu daerah karena status kebangsawanan dan luas lahan yang dimiliki tidak seperti milik Ros Taylor. Penggunaan nama pemilik untuk nama perkebunan ini juga terjadi pada Perkebunan Trebasala di Kecamatan Glenmore. Trebasala merupakan penyebutan terbalik untuk alas (lahan/hutan) milik Tuan Albert. Tapi, asumsi ini juga diragukan karena di Skotlandia tidak ada marga More.
Meski Ros Taylor tidak memiliki marga More, dia diduga kuat berperan dalam menemukan kata Glenmore untuk perkebunan ini. Kata Glenmore bisa dilacak dari Bahasa Gaelic sebagai bahasa asli Skotlandia tempat Ros Taylor berasal. Dalam Bahasa Gaelic, Glenmore berarti “big glen” yakni daerah dengan kontur perbukitan yang menghampar sangat luas. Istilah Glenmore biasa digunakan orang Skotlandia untuk menyebut hal-hal yang berhubungan dengan daerah berkontur perbukitan atau hal yang berhubungan dengan lahan perbukitan.
Istilah Glenmore cukup popular di Skotlandia. Selain untuk menyebutkan daerah dengan kontur perbukitan, kata Glenmore juga digunakan untuk nama hotel, plaza, taman hutan, pusat latihan olahraga luar ruangan, dan lain-lain. Glenmore Lodge misalnya sebagai Pusat Pelatihan Olahraga Luar Ruangan Nasional Skotlandia. Ada juga Glenmore Forest Park (Taman Hutan Glenmore). Beberapa perusahaan wisata dan penginapan di daerah pegununan di Skotlandia juga memakai nama Glenmore.
Selain di Skotlandia, nama Glenmore juga ditemukan di negara-negara lain seperti Amerika, Inggris, Australia, dan lain-lain. Di Inggris ada Glenmore Caravan and Camping Site, sebuah kawasan perkemahan. Di Amerika, Glenmore digunakan untuk nama pusat perbelanjaan (plaza) dan hotel berbintang serta menjadi nama kota kecil di Wisconsin dan Virginia. Glenmore juga menjadi nama daerah di distrik Rockhampton, Queensland, Australia dan menjadi nama properti bersejarah. Glenmore sebagai nama kota juga ditemukan di distrik City of Kelowna, British Columbia di Kanada. Begitu juga nama Glenmore di Irlandia.
Nama Glenmore yang tersebar di berbagai negara itu tidak lepas dari kehadiran orang Skotlandia di negara tersebut di masa lalu dengan beragam kepentingan. Nama Glenmore di Australia tidak lepas dari kehadiran sejumlah anggota resimen ketiga Skotlandia di benua tersebut sekitar akhir abad ke-18. Daerah-daerah bernama Glenmore biasanya memiliki kemiripan yakni lahan yang berkontur di sekitar daerah pegunungan atau lembah. Jika nama Glenmore dipakai untuk merek atau komunitas, tetap memiliki nuansa alam yang sangat kuat.
Meskipun tidak ada data dan bukti tertulis bahwa Ros Taylor yang memberi nama Glenmore di lahan perkebunan yang dia beli di Banyuwangi, jejak dan asal-usul Kecamatan Glenmore dapat dilacak dari kebiasaan orang Skotlandia memberikan nama pada tempat yang dia miliki. Apalagi kondisi alam daerah bernama Glenmore rata-rata memiliki kesamaan yakni lahannya berkontur dan berada di sekitar pegunungan, perbukitan, atau lembah.
Gambaran lahan berkontur dengan latar pegunungan ini cocok dengan kondisi Glenmore di Banyuwangi. Selain memiliki hamparan perkebunan yang luas, daerah ini tepat berada di bagian selatan Gunung Raung. Di pagi hari, Gunung Raung tampak seperti benteng yang melindungi Glenmore yang tenang dan berudara sejuk. Karena itu pula kenapa nama Glen Falloch dan Glen Nevis hanya disematkan pada perkebunan dan tidak menjadi nama sebuah kecamatan.
Meskipun nama Glenmore lebih dekat dengan Skotlandia, secara fisik Glenmore cukup dekat dengan hal-hal yang berbau Belanda karena Belanda cukup lama menguasai lahan perkebunan di daerah ini. Bahkan bangunan-bangunan peninggalan Belanda seperti markas, stasiun kereta uap, sistem irigasi, hingga gudang penimbunan hasil perkebunan masih ditemukan hingga sekarang. Salah satu yang cukup dikenal adalah pipa air sepanjang 500 meter di Desa Margomulyo yang dikenal dengan Pipa Sarengan.
Kondisi yang membuat Kecamatan Glenmore, terutama perkebunannya, menjadi tujuan turis asal Belanda. “Kami mendengar cerita tentang Glenmore yang indah dari kakek kami yang bertugas di perkebunan karet di sini,” kata Johann van Dulken. Pada tahun 1980-an hingga 1990-an turis-turis Belanda sering terlihat berseliweran di Glenmore. Mereka biasa membeli barang kerajinan dari bambu seperti seperti tudung saji, topi petani, tampah, dan lain-lain. (jlj/arif firmansyah)
Melacak Sejarah Glenmore (part.1)
Menjadi sebuah pertanyaan yang logis ketika pertama kali saya mencoba mencari jejak sejarah kota kelahiran saya. Apakah ini sebuah proses alami yang berasal dari keingin tahuan yang besar tentang asal muasal dari tanah kelahiran ? Ataukah hanya sekedar ikut-ikutan seorang teman yang lebih dahulu mengambil objek tulisan yang sama tentang Glenmore. Namun memang kadang-kadang untuk mendapatkan sebuah inspirasasi berawal bukan dari upaya kreatif yang kita lakukan sendiri. Kadang berawal dari membaca buku, berdiskusi dengan orang lain, atau hanya sekedar dari proses yang dialami oleh orang lain.
Apapun motifnya yang jelas proses ini berawal dari rasa keingin tahuan yang besar berawal dari cerita-cerita almarhum bapak ketika saya masih berada di Sekolah Dasar dan juga mendapat penguatan dari cerita-cerita masyarakat Glenmore. Semuanya masih tampak samar dan spekulatif.
Mengapa nama kota ini dinamai Glenmore ? Sebuah pertanyaan yang sulit terjawab karena nama Glenmore tidak seperti kota-kota yang lain di Indonesia. Sebuah nama bergaya Eropa, tetapi hanya nama sebuah kota kecil terletak di Kaki Gunung raung sebelah selatan. Kemudian ditambah lagi peninggalan-peninggalan Bangunan-bangunan bergaya Eropa. Pasti dimasa lalu kota ini adalah kota yang telah memiliki kaitan erat dengan orang-orang Eropa, khususnya Belanda.
Titik terang saya dapatkan setelah membaca tulisan di Majalah Jelajah. Dalam sebuah tulisannya Arief Firmansyah menulis bahwa keberadaan Glenmore tidak lepas dari Ros Taylor, bangsawan Skotlandia yang membeli lahan perkebunan di daerah ini. Izin pembukaan lahan ini ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 24 Februari 1909 dan diumumkan di Javasche Courant tanggal 30 Maret 1909.
Menurut versi ini, Ros Taylor sangat dihormati oleh penduduk lokal maupun warga Belanda karena kekayaan dan status sosialnya. Sebagai penghormatan kepada bangsawan Skotlandia ini Belanda menamai perkebunan yang telah dibeli dengan nama Glenmore. Kata Glen untuk menggambarkan lahan perkebunan yang berkontur dan sangat luas. Tetapi ketika kita merujuk nama Glenmore dari bahasa Gaelic sebagai bahasa asli Skotlandia tempat Ros Taylor berasal. Dalam Bahasa Gaelic, Glenmore berarti “big glen” yakni daerah dengan kontur perbukitan yang menghampar sangat luas. Istilah Glenmore biasa digunakan orang Skotlandia untuk menyebut hal-hal yang berhubungan dengan daerah berkontur perbukitan atau hal yang berhubungan dengan lahan perbukitan. ( majalahjelajah.com, 7 Januari 2013).
Informasi-informasi awal tersebut masih perlu diveriviksi agar kebenarannya dapat dipertanggung jawabkan. Kemudian saya mencoba menyusun langkah -langkah awal untuk melacak jejak sejarah Glenmore. Menjadi persoalan tersendiri bagi saya dengan latar belakang ilmu ekonomi, saya harus menjadi seorang sejarawan yang akan melacak sebuah kisah sejarah sebuah kota seperti Glenmore. Selain persolan metodologis, saya juga menghadapi persoalan kesulitan pencarian bukti-bukti tertulis yang berkaitan dengan Glenmore. Namun ini merupakan sebuah tantangan tersendiri karena dengan cara ini saya bisa belajar secara langsung dari perjalanan yang harus ditempuh. Selama ini biasanya kita hanya belajar dengan membaca, mendengar hasil- hasil eksperimen orang lain yang kemudian kita harus saya mengkonstruksikan dengan pengalaman belajar terdahulu.
Hari pertama saya hanya duduk tekun di depan computer yang terhubung dengan dunia maya. Browsing barangkali adalah sebuah cara yang sengaja saya pilih untuk mencari input awal bagi pelacakan sejarah yang akan saya lakukan. Satu persatu tulisan-tulisan tentang Glenmore saya kompilasikan untuk memberikan gambaran awal tentang Glenmore. Tidak banyak data yang tergali dari kegiatan ini, namun saya kemudian mendapatkan gambar kota Glenmore pada tahun 1927. Sebuah koleksi foto dari Tropenmuseum dengan Deskripsi : Nederlands: Foto. Oost-Java, de werkende vulkaan Raoeng in het Idjengebergte vanuit Glen More gezien.
Sebuah foto tua yang bisa memberikan gambaran tentang objek sejarah yang hendak saya jelajahi. Dugaan saya bahwa foto tersebut diambil dari lokasi di Jalan Raya Pasar Glenmore. Tepatnya di depan Pasar Glenmore, hal ini berdasar dari terdapatnya aktivitas manusia yang tergambar jelas dalam foto tersebut sebuah aktivitas ekonomis yang cukup memberikan gambaran sebuah aktivitas di sekitar sebuah pasar juga terdapatnya deretan-deretan warung atau toko di sebelah kanan – kiri jalan terlihat cukup jelas. Selain itu juga terdapatnya sebuah jalan yang menuju Gunung Raung, hal ini menunjukkan bahwa jalan tersebut berada di sebelah selatan Gunung Raung dan menujukkan arah utara. Kemudian juga terdapatnya tiang telepon di sebelah kanan jalan. Rasionalnya pengambilan gambar dilakukan dengan menghadap ke utara. Dengan demikian tiang telepon berada di sebelah timur dari fotografernya. Posisi ini sampai sekarang masih sama persis dengan tahun 1927, dimana tiang telepon berada di sebelah timur jalan.
Kemudian kalau dilihat dari pakaian orang-orang yang ada di dalam foto tersebut, besar kemungkinan mereka adalah masyarakat yang berasal dari Madura (etnis Madura) dan Jawa. Hal ini dapat kita lihat terdapatnya seorang yang berselimut sarung dan berkopiah (akok bukok), sebuah kebiasaan orang madura di musim dingin. Selain itu juga terdapatnya orang yang sedang memikul keranjang dengan posisi talinya memanjang hingga keranjangnya hampir menyentuh tanah. Jenis keranjang seperti ini saat ini dapat kita temui dari pedagang-pedagang dari etnis Madura yang menjual pisang, bunga yang berada di Pasar Tanjung Jember.
Namun tidak saja masyarakat Madura yang sudah berada di Glenmore, Pendatang dari Jawa ( Matraman) sudah berada di Glenmore, hal ini dapat kita lihat dalam gambar tersebut dapat kita lihat wanita berpakain kebaya dan kain panjang yang merupakan pakain khas jawa./mif.
Melacak Sejarah Glenmore (part.2)
Glenmore, nusantaraobserver.com.Bagi orang yang pertama kali mendengar nama Glenmore, pasti akan mengira bahwa kota ini berada di Eropa. Kalaupun kemudian harus dijelaskan bahwa Glenmore adalah sebuah kota kecil di ujung Timur pulau Jawa. Tepatnya di kabupaten Banyuwangi. Pasti akan menimbulkan pertanyaan yang mempertanyakan lebih jauh tentang kota ini. Sebuah kebetulankah atau memang memiliki sejarah yang membuat kota ini disebut Glenmore.
Seandainya ini adalah sebuah kebetulan, siapa orang yang iseng memberi nama Glenmore untuk sebuah wilayah yang berada ditengah-tengah wilayah perkebunan. Menjadi ganjil karena nama-nama wilayah lain di tanah jawa ini memberikan gambaran bahwa daerah tersebut berada di Jawa. Atau penamaan wilayah ini memiliki asal muasal sehingga wilayah ini diberi nama Glenmore.
Banyak versi yang mencoba menjelaskan asal muasal kota Glenmore, asumsi-asumsi yang kadang-kadang sekedar di paksa-paksakan untuk sesuai, tetapi sesekali ada yang masuk akal sehingga memicu rasa penasaran untuk melacak asal muasal Glenmore.
Asal muasal kota Glenmore, selalu di kait-kaitkan dengan pemerintah colonial Belanda. Tetapi beberapa versi menyatakan bahwa nama Glenmore justru berasal dari bahasa Gaelic ( bahasa tradisional Skotlandia ). Lho…..kok Skotlandia padahal tidak pernah sekalipun Skotlandia menjajah Indonesia ? Tetapi menarik untuk ditelusuri karena versi ini lebih memiliki alur cerita yang dapat diterima oleh akal dibanding versi-versi lain yang konstruksi berpikirnya sulit diterima logika.
Mengamati secara seksama tentang versi ini bahwa nama Glenmore tidak lepas dari Ros Taylor, bangsawan Skotlandia yang membeli lahan perkebunan di daerah ini. Izin pembukaan lahan ini ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 24 Februari 1909 dan diumumkan diJavasche Courant tanggal 30 Maret 1909. Javasche Courantmerupakan lembar penyebaran informasi tentang perundangan yang menjadi cikal bakal Berita Negara yang kita kenal sekarang. Berita Negara pertama kali dipakai pada tahun 1810 dengan nama Bataviasche Koloniale Courant yang kemudian berubah menjadi Javasche Courantpada tahun 1815.(majalahjelajah.com/7 Januari 2013)
Berdasar alur cerita tentang asal muasal Glenmore dari versi Ros Taylorpada akhirnya terdapat sebuah kesimpulan bahwa keberadaan Glenmore tidak lepas keberadaan perkebunan Glenmore. Alur berpikir ini menarik untuk diamati. Tetapi agar pendapat ini memiliki pijakan-pijakan yang dapat diterima secara akademis dan ilmiah, maka dalam penelitian-penelitian sejarah ( historiografi) semacam ini perlu dilacak sumber-sumber sejarah. Perlu dicari bukti-bukti yang dapat membuktikan pendapat diatas, dalam ranah historiografi langkah ini disebutHeuristik.
Berdasarkan dugaan ini akhirnya kita harus memulai penelusuran pencarian bukti-bukti sejarah yang ada di Perkebunan Glenmore. Namun lagi lagi sebuah jalan buntu harus ditemui, karena tak seorangpun staf kantor di Perkebunan Glenmore tidak mengetahui keberadaan dokumen kepemilikan perkebunan Glenmore. Bahkan mereka tidak ada yang mengetahui sedikitpun tentang asal muasal Perkebunan Glenmore.
Dapat dipahami dokumen-dokumen tersebut merupakan dokumen-dokumen yang sangat penting. Tidak mungkin dokumen-dokumen tersebut ditempatkan disembarang tempat. Kalaupun ada yang mengetahui, mungkin hanya orang-orang penting dan memiliki kedudukan cukup tinggi di Perkebunan Glenmore.
Tetapi ketika kita berusaha mencari petunjuk berupa prasasti di Perkebunan Glenmore dapat kita temui dan semuanya berangka tahun 1929. Prasasti tersebut dapat di temui di sisi bawah sebelah selatan sebuah bangunan irigasi yang berada di tengah-tengah perkebunan Glenmore. Masyarakat perkebunan Glenmore biasanya menyebutnya sebagai Sarengan.
Sarengan adalah sistem irigasi air yang akan digunakan di Pabrik. Dan kalau kita amati lebih seksama dan berdasar penamaannya merupakan sistem penyaringan air yang akan dipergunakan untuk pengolahan karet. Sebuah sistem yang terdiri sebuah bendungan kecil yang menampung air yang berasal dari sumber air tanah yang ada di perkebunan Glenmore. Selanjutnya air yang sudah dialalirkan ke bendungan tersebut di saring dengan sebuah saringan yang terbuat dari besi. Sehingga air yang melewati filter besi tersebut telah bersih dari kotoran-kotoran yang tercampur dalam air. Adapun kotoran-kotoran yang terkempul agar tidak menyumbat di filter besi tersibat dialirkan kembali di satu sisi dari bendungan tersebut. Berikutnya air yang sudah bersih dialirkan melewati pipa yang terbuat dari Baja berdiameter ± 50 – 100 cm, dan memiliki panjang ± 100 M.
Selain itu kita juga bisa melihat di halaman kantor Perkebunan Glenmore terdapat sebuah monumen kereta buatan Inggris yang terpampang di halaman kantor perkebunan Glenmore dan cukup jelas tahun produksi kereta tersebut yaitu tahun 1910. Atau ketika kita memasuki areal pabrik di Perkebunan Glenmore kita masih bisa melihat sederet mesin pabrik peninggalan masa jaman colonial Belanda. Dalam salah satu dinding di ruangan tempat generator kita juga masih bisa melihat angka tahun 1929.
Bukti-bukti tersebut juga diperkuat dengan sebuah bukti dokumentasi foto pembangunan sarengan dan generator yang semuanya sama persis dengan bukti prasasti di sarengan dan ruang generator. Bukti dokumentasi tersebut saat ini terpampang dengan rapi di Kantor Perkebunan Glenmore.
Semakin dalam kita menjelajah mencari jejak sejarah Glenmore, semakin banyak pertanyaan yang muncul dari temuan-temuan yang kita temui. Ibarat sebuah puzzle, temuan-temuan yang ada betapapun kecil akan semakin melengkapi misteri tentang Glenmore. Dan sekaligus semakin menantang untuk mencari tahu apa dan bagaimana Glenmore lebih dalam sehingga penggambaran nya akan lebih holistic dan komperhensif.
Dalam satu versi tentang asal muasal perkebunan Glenmore, bahwa lahan seluas 163.800 hektar ini dibuka pada tahun 1909. Pemilik pertama dari Perkebunan ini konon adalah Ros Taylor seorang bangsawan asal Skotlandia yang sangat dihormati oleh orang pribumi dan orang Belanda.
Kepemilikan bangsawan Skotlandia akan memunculkan kontroversi karena dia berasal dari Skotlandia, padahal pada saat itu Indonesia di jajah oleh pemerintah kolonial Belanda, bukan Skotlandia. Untuk menjawab kontrofersi ini kita dapat mengamati perjalanan kolonialisme di Indonesia Pasca kebijakan Tanam paksa (Cultuurstelsel) Pada masa Gubernur Jendral Johannes van den Bosch.
Adapun kebijakan tanam paksa ini mulai diberlakukan pada tahun 1830yang mewajibkan setiap desa menyisihkan sebagian tanahnya (20%) untuk ditanami komoditi ekspor, khususnya kopi, tebu, dan tarum (nila). Hasil tanaman ini akan dijual kepada pemerintah kolonial dengan harga yang sudah dipastikan dan hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Penduduk desa yang tidak memiliki tanah harus bekerja 75 hari dalam setahun (20%) pada kebun-kebun milik pemerintah yang menjadi semacam pajak.
Pada akhirnya seiring dengan perubahan konstelasi politik di negeri Belanda dengan berkuasanya kelompok liberal di parlemen Belanda, yang menentang keras kebijakan tanam paksa. Yang pada akhirnya dengan alasan kemanusiaan kebijakan tanam paksa dihentikan dengan dikeluarkannya Undang-undang Agraria dan Undang-undang Gula pada tahun 1870 dan mengawali masa liberalisasi ekonomi di tanah jajahan.
Gerakan liberalisme di negeri Belanda dipelopori oleh para pengusaha swasta. Liberalisasi ekonomi ini sebenarnya merupakan cikal bakal paham kapitalisme, kebebasan yang mereka perjuangkan terutama kebebasan di bidang ekonomi. Kaum liberal di negeri Belanda berpendapat bahwa seharusnya pemerintah tidak ikut campur tangan dalam kegiatan ekonomi. Hal ini berkaitan berdasarkan dogma sentral dari sistem ekonomi ini adalah semua kegiatan ekonomi di serahkan kepada mekanisme pasar.
Mereka menghendaki agar kegiatan ekonomi ditangani oleh pihak swasta, sementara pemerintah bertindak sebagai pelindung warga negara, menyediakan prasarana, menegakkan hukuman dan menjamin keamanan serta ketertiban.
Tokoh yang mengeluarkan undang-undang ini adalah de Waal, Menteri Jajahan dan Perniagaan Belanda. Secara umum, Undang- Undang Agraria 1870 bertujuan melindungi hak milik petani atas tanahnya dan penguasaan pemodal asing, memberi peluang pada pemodal asing untuk menyewa tanah dari penduduk Indonesia, dan membuka kesempatan kerja pada penduduk Indonesia, terutama buruh pekerjaan.
Isi terpenting dalam UU Agraria 1870 adalah pemberian hak erfpacht, semacam Hak Guna Usaha, yang memungkinkan seseorang menyewa tanah terlantar yang telah menjadi milik negara yang selama maksimum 75 tahun sesuai kewenangan yang diberikan hak eigendom(kepemilikan), selain dapat mewariskannya dan menjadikan agunan.
Ada tiga jenis hak erfpacht.
- Hak untuk perkebunan dan pertanian besar, maksimum 500 bahudengan harga sewa maksimum lima florint per bahu;
- Hak untuk perkebunan dan pertanian kecil bagi orang Eropa “miskin” atau perkumpulan sosial di Hindia-Belanda, maksimum 25 bahu dengan harga sewa satu florint per bahu (tetapi pada tahun 1908 diperluas menjadi maksimum 500 bahu);
- Hak untuk rumah tetirah dan pekarangannya (estate) seluas maksimum 50 bahu.
Dalam Undang-Undang Agraria 1870 secara jelas disebutkan bahwa gubernur Jenderal tidak diperbolehkan menjual tanah pemerintah. Tanah dapat disewakan paling lama 75 tahun. Yang disebutkan sebagai tanah milik pemerintah adalah hutan yang belum dibuka, tanah yang berada di luar wilayah desa dan penghuninya, dan tanah milik adat. Sedangkan tanah penduduk adalah semua sawah, ladang, dan sejenisnya yang dimiliki langsung oleh penduduk.
Dengan diberlakukannya liberalisasi ekonomi di Hindia Belanda pada akhirnya memberikan kesempatan kepada pemodal asing untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda dengan mendirikan perkebunan-perkebunan tebu, kopi, teh, tembakau, kina dan kopra. Industrialisasi pertanian yang terjadi idealnya harus di mudahkan dengan infrastruktur berupa jalan raya, jalan kereta api, irigasi, pelabuhan dan telekomunikasi yang memadai.
Maka pada kisaran masa tahun-tahun 1870 – 1900 pemerintah Hindia Belanda mulai membangun infrastruktur untuk mendukung industrialisasi di wilayah-wilayah yang ditawarkan kepada para pemodal asing. Hal ini sejalan jika kita melihat Terowongan Kereta Api yang berada di Kalibaru kita akan bisa melihat angka Tahun 1910.
Dengan demikian asumsi bahwa pembelian lahan perkebunan oleh Ros Taylor dari Skotlandia kepada pemerintah Belanda pada tahun 1909 memiliki keselarasan informasi berdasar perubahan pola kebijakan yang sentralistis menjadi pola kebijakan yang memberikan peran kepada sector swasta.
Open Door Policy ini ruang bagi pengusaha asing untuk menanamkan modalnya di Hindia Belanda menjadi terbuka lebar. Asumsi ini diperkuat dengan adanya Traktat Sumatara pada tahun 1871 yang memberikan kebebasan bagi Belanda untuk meluaskan wilayah hingga ke Aceh. Dan sebagai imbalannya, Inggris meminta Belanda menerapkan sistem ekonomi Liberal di Hindia Belanda agar pengusaha Inggris ( Britania Raya ) dapat menanamkan modalnya di Indonesia.
Salah satu keuntungan yang bisa dirasakan adalah terjadinya perubahan kehidupan masyarakat dengan meresapnya ekonomi capital, timbulnya kelas baru, dan tumbuhnya permukiman baru di sekitar perkebunan sehingga kelak akan menjadi kota-kota baru di sekitar perkebunan.
Dengan dibukanya wilayah-wilayah hutan menjadi wilayah perkebunan, maka menjadikan wilayah ini menjadi sebuah surge baru bagi masrakat luar daerah khususnya Madura untuk untuk alasan yang bersifat ekonomi. Tercatat tidak kurang dari 833.000 orang madura pindah ke Jawa timur bagiantimur ini. Dari sumenep aja tercatat tidak kurang dari 10.000 orang pindah ke daerah ini setiap tahunnya (Koloniaal Verslag 1892′ Bijlage C, No.22:3). Dan salah satunya ke wilayah yang disebut oleh Ros Taylor sebagai Glenmore. Tidak hanya pendatang dari Madura ada juga dalam kelompok-kelompok yang tidak berasal dari Madura, misalnya pendatang dari Madiun,Malang, Ponorogo dan kelompok etnis China dan Arab dan lain sebagainya. Hal ini dapat di buktikan sampai saat ini ada beberapa wilayah di Glenmore yang memiliki nama yang ‘ njawani ‘ misalnya : Megelenan, Mediunan dan lain sebagainya.
Dapat dikatakan bahwa keberadaan Glenmore adalah imbas perubahan eskalasi politik Eropa dengan mulai berkuasanya kelompok liberal.
Dengan demikian pendapat yang mengatakan bahwa Ros Taylor seorang bangsawan Skotlandia yang membeli lahan perkebunan di daerah ini. Izin pembukaan lahan ini ditandatangani oleh Gubernur Jenderal Belanda pada 24 Februari 1909 dan diumumkan di Javasche Courant tanggal 30 Maret 1909 memiliki pijakan kesejarahan yang kuat.
Haloo ....terima kasih atas Informasi nya' saya seorang Kaum Gipsy suatu saat saya pasti akan Maen ke tempat Anda ....matur newun
BalasHapusTerimakasih atas info pencerahannya.
BalasHapusternyata gitu toh critanya.. sy jg lahir di glenmore, tepatnya krikilan mas.. salam kenal ya
BalasHapusSaya jg lahir di Glenmore,di Karangharjo...
BalasHapus