Di rumah yang terlampau sederhana itulah, lahir dan tumbuh seorang penari dan penyanyi Gandrung Banyuwangi, Temu Misti. Di usianya yang beranjak senja, 55 tahun, perempuan setinggi 165 cm berperawakan kurus ini, menjadikan gandrung adalah bagian tak terpisahkan dari hidupnya.
Bersama kelompok kesenian Gandrung, Sopo Ngiro yang dia rintis sejak 1980, Temu menari dari satu tanggapan ke tanggapan lainnya. Dia mempertahankan pakem gandrung ditengah bermunculannya penari gandrung lain yang identik sebagai hiburan para pemabuk. Perempuan yang tak lulus sekolah rakyat ini ingin menunjukkan kalau gandrung bukan kesenian murahan. “Kalau saya berhenti, habislah riwayat gandrung,” ujar Temu, Minggu (2/8).
Selain tubuh gemulai, Temu dianugerahi suara emas yang tidak dimiliki gandrung lain. Melengking tinggi dengan cengkok using khas. Selain menari, ia biasa menjadi sinden gandrung dalam setiap pagelaran. Ia juga satu-satunya yang mampu mengkolaborasikan suara gending gandrung dengan lagu Banyuwangi modern. Para peneliti, menyebut suara gandrung Temu, adalah sebuah eksotisme timur.
Tempat lahir Temu di Dusun Kedaleman, Desa Kemiren, sekitar tujuh kilometer dari kota Banyuwangi dulunya adalah kantung kesenian gandrung. Temu kecil, hampir tak pernah melewatkan menonton gandrung. Ia juga terbiasa mengintip para penari gandrung berlatih. Namun tak pernah terbersit di pikirannya untuk menjadi penari gandrung. “Dari awal keluarga tak pernah setuju,” kata Temu.
Semasa kecil, anak tunggal Mustari dan Supiah ini sakit-sakitan. Hampir putus asa keluarganya membawa Temu berobat ke dukun. Suatu hari sepulang berobat ke dukun, ibunya mampir ke salah seorang seniman gandrung, Mbah Ti’ah. Di sana, Temu meminta makan. “Saya makan dengan lahap,” kata Temu. Si empu gandrung lantas berpesan: “Jadikan dia gandrung kalau besar nanti,” katanya.
Pementasan pertama Temu berada di Dusun Gedok, tak jauh dari tempatnya tinggal, saat usianya menginjak 15 tahun. Ia hanya berlatih sehari dan mampu membawakan tarian gandrung dengan apik. Ia juga tak kesulitan membawakan lagu-lagu gandrung. Temu memulai jalan hidupnya sebagai gandrung.
Perempuan penyuka kopi ini mulai masuk dapur rekaman sekitar tahun 1970-an. Saat itu, sudah bermunculan rumah-rumah produksi, pencipta lagu, dan penyanyi lagu Banyuwangi. Album pertamanya masih berkaitan dengan lagu-lagu gandrung. Album-album saat itu masih dijual dalam bentuk kaset. Harganya, kata Temu, sekitar Rp 75.
Saat ini Temu masih aktif menyanyi, lagu-lagunya lebih modern. Salah satu single hits yang meledak di pasaran berjudul Ojo Cilik Ati. Upah rekaman tidak dihitung berdasarkan royalti atau banyaknya kaset yang laku. Melainkan dihitung per paket, antara Rp 1 juta-Rp 1,5 juta per lagu. Tanpa ada surat kontrak.
Upah itu, kata Temu, jauh lebih tinggi dibanding ia menari. Saat menjadi gandrung, bayaran satu kelompok memang besar, yakni Rp 2 juta. Tapi setelah dibagi-bagi dengan lima penabuh, dan seorang tukang rias, bersih ia hanya terima Rp 250 ribu. Karena itu ia tak pernah protes dengan upahnya rekaman. Sebagai seniman tradisional, Temu tak pernah pernah menggugat dengan urusan hak cipta intelektual atau tetek bengeknya. “Gak paham dengan begituan,” tuturnya.
Tahun 1980, suara emas Temu direkam Smithsonian Folkways, Amerika Serikat, milik Philip Yampolsky. Dalam album Songs Before Dawn yang dirilis 1991, Temu menyanyi sebelas lagu gandrung, antara lain, delimoan, Chandra dewi, dan seblang lokento. Bertahun-tahun, rupanya Temu tak pernah tahu kalau album itu dijual di sejumlah situs bisnis di Amerika dan Eropa. Di situs Amazone.com, misalnya, yang dibuka Tempo Rabu lalu (5/8), CD Songs Before Dawn dijual seharga 16,98 US Amerika. Yang Temu tahu, kalau saat itu suaranya direkam untuk kegiatan penelitian kebudayaan Indonesia. Ia dibayar Rp 250 ribu, tanpa sebuah surat kontrak.
Temu baru mengetahui sekitar tahun 2007 dari Farida Indriastuti, kontributor lepas kantor berita Italia yang melakukan penelitian tentang multikulturalisme. Konon kabarnya, album Temu itu mencetak penjualan miliyaran rupiah. Namun penghargaan kepada Temu, tak lebih dari sebuah figura berbingkai kayu coklat polos, berisi sampul album Songs Before Dawn. Figura itu dipajang Temu di dinding rumahnya. “Bangga, tapi juga kecewa,” ungkapnya setiap kali menatap figura yang barangkali harganya tak lebih dari Rp 5 ribu. “Ya, mau gimana lagi? Biar Tuhan yang membalas,” ucap Temu, yang menjanda sejak tahun 1980.
Toh, besarnya kekecewaan di dada Temu tak pernah membuatnya surut dari dunia gandrung. Ia sudah bertekad tidak akan mundur sebelum memiliki pengganti. Untuk mencetak generasi, tahun 1995 ia mencoba melatih 10 anak gadis di desanya. Tapi seluruhnya gagal. Menurut Temu, sangat sulit mencari pengganti yang mau menari karena benar-benar mencintai gandrung. “Kalau sudah ada yang menggantikan, saya ingin istirahat,” katanya.
Bertahan Dari Ancaman
Gandrung, kesenian asli Banyuwangi bisa dikatakan satu genre dengan kesenian Tayub di Jawa Tengah. Kesenian Gandrung menampilkan penari perempuan, dengan lima-tujuh penabuh gending. Terdapat sesi, dimana gandrung menari bersama-sama dengan tamu. Gandrung biasa ditampilkan dalam hajatan, seperti pesta perkawinan, sunatan, maupun acara seremonial lain. Pertunjukan gandrung dimulai jam sembilan malam hingga menjelang subuh.
Di awal kemunculannya, sekitar tahun 1900-an, penari gandrung adalah laki-laki. Gandrung dengan gending-gendingnya, dimainkan sebagai bentuk perlawanan masyarakat Banyuwangi terhadap kolonialisme bangsa barat. Gandrung dengan penari perempuan baru muncul pada 1895, setelah Islam masuk dan melarang laki-laki menjadi penari.
Setelah Indonesia merdeka, gandrung berubah fungsi. Dari semula sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah, gandrung menjadi hiburan. Tahun 1990-an, pementasan gandrung diidentikkan dengan para pemabuk karena selalu tersedia minuman keras. Sorotan miring terhadap gandrung mulai merebak. Gandrung mulai terpinggirkan.
Menurut Temu Misti, seniman yang mempertahkan bentuk asli gandrung, kondisi itu diperparah dengan maraknya tontotan modern seperti elekton dan karaoke. Kelompok-kelompok kesenian gandrung menjadi tidak lagi patuh dengan pakem demi mengejar setoran. Harga pertunjukan mau dibayar murah sekitar Rp 750 ribu sehingga memukul kelompok kesenian Temu yang bertahan dengan Rp 2 juta. Penari-penari gandrung diciptakan secara instant tanpa penghayatan.
Di tengah ancaman ini, belum ada perlindungan dari Pemerintah Kabupaten setempat. Permintaan manggung semakin surut. Kalau dulu bisa manggung tiap malam, kata Temu, sekarang sebulan tiga kali sudah bagus. Ia tak berani menggantungkan hidup sepenuhnya dari gandrung. Ia menyambi pendapatan lain. Setiap pagi pergi ke sawah. Sore merawat beberapa ekor ayamnya. Hiburan satu-satunya, adalah Ryan Wibowo, 11, ponakannya yang ia rawat sedari kecil. “Kami memang seperti hidup-hidup sendiri,” katanya dalam suara lirih. IKA NINGTYAS
sumber :
update : Temuk Misti menerima penghargaan "Kartini Indi Women" Award 2013
radar banyuwangi, 02 Mei 2013
0 comments:
Posting Komentar