Koesniah |
Ia menjadi salah satu maestro Gandrung Banyuwangi. Siapa yang tak mengenalnya, suaranya yang khas, berwajah rupawan. Siapa yang tak tergila-gila saat Ia menjadi putri panggung dengan kibasan sampur merahnya. Ia tak lama menggandrung, namun tak henti-hentinya ia masuk dapur rekaman.
Itu dulu, kini di masa tuanya, Ia hidup bersama anak semata wayangnya dengan kehidupan yang sangat sederhana. Di tengah kesederhanaanya, suara emas itu masih bisa kita dengarkan hingga saat ini, masih dengan karakter suara khasnya, tak berubah…
Di tengah perjalanan menuju Pondok Pesantren Darussalam – Blokagung, Banyuwangi, kemarin 15 Februari 2012, tepat di desa Kedayunan ada segerombolan polisi yang sedang melakukan operasi tilang pemerikasaan pengendara. Hal itu mebuat kepanikan saya dan juga dua kakak saya yang juga mengendarai motornya, maklumlah motor yang saya pakai STNKnya sudah melewati masa batas perpanjangan, jadi ini yang menjadi sasaran empuk polisi. Tanpa pikir panjang saya langsung saja menerobos salah satu halaman rumah warga tepat di depan puskesmas Kabat. Untung saja Si Pemilik rumah dengan baik hati menunjukkan tempat persembunyian yang aman di belakang rumahnya, agar lolos dari pemerikasaan polisi.
Begitu juga sambutan ramah seorang wanita paruh baya yang duduk di lincak kecil depan rumah sederhananya. Ia menyuruh saya menuju bagian belakang rumah tetangganya agar bisa lolos dari kejaran polisi, “Mronoho Lek, lebokno mrono sepidah iro memburi kono makne ojo ketemon ambi pulisai”, ujarnya. Wajahnya tak asing bagi saya, begitu juga suara khasnya. Sebelumnya, ketika saya memasuki halaman rumahnya saya sudah mengira-ngira wanita itu. Dalam hati saya berkata, “Bukannya wanita paruh baya itu Gandrung Koesniah? Tapi masak iya??”. Kemudian saya tanyakan hal itu kepada Ibu dan Bibi saya,
“Delengen tah wong wadon iku Gandrung Koesniah iko tah?”
“Iyo yoh Lek, koyo Gandrung Koesniah..”, jawab Bibi saya.
Tanpa berpikir panjang lagi, saya langsung membawa masuk motor ke tempat yang aman diatara kandang ayam. Dua jam saya dan kakak saya beserta beberapa orang yang berusaha bersembunyi dari kejaran polisi menunggu hingga operasi tersebut berakhir. Bau kotoran ayam yang menyengat hidung menemani kami selama di tempat persembunyian. Sementara wanita paruh baya berubuh tambun itu masih menggelitik pikiran saya apakah benar wanita itu adalah Koesniah, “Lintang Gadrung” yang digandrungi masyarakat seantero Banyuwangi di zamannya?
Dua jam berlalu, akhirnya operasi tilang itu berakhir juga. Saya pun langsung keluar dari persembunyian dengan menuntun motor. Tiba-tiba Bibi menghapiri saya dan mengatakan benar bahwa wanita itu Gandrung Koesniah,
“Iyo Lek, iku Gandrung Koesniah, mari sun takoni kene mau. Mronoho tah iro”
Ternyata benar dugaan saya, beliau adalah Gandrung Koesniah. Akhirnya saya sempat bersalaman dan berbincang dengan Mak Koesniah.
“Yeh…siro iki perandane sing dienteni nong umah, perlu sengidan nong mburi. Weruho gedigu sakat mau sun corotaken teh Nang..” Ujar Mak Koesniah dengan ramah.
Mak Koesniah menceritakan bahwa ia tinggal bersama anak angkat semata wayangnya di rumah sederhanya ini, namun sayang, anak yang menjadi harapannya itu saat ini sedang mengalami gangguan syaraf akibat insiden pemukulan yang pernah dialaminya, akibatnya saat ini putranya menderita gangguan jiwa.
“Yo wes gedigi iki Lek uripe Mak Kus, wes emak’e iki gedigi anake sing pati waras pisan”, ungkapnya
Sungguh sangat terenyuh hati saya mendengar ungkapan jujur Sang Seniwati senior Banyuwangi yang suaranya telah melekat di hati masyarakat Banyuwangi itu. Tinggal dengan anaknya yang mengalami gangguan jiwa di rumah yang sangat sederhana pula. Rumah yang sederhana itu merupakan rumah sewa, Mak Koesniah saat ini tidak memiliki tempat tinggal tetap, Ia pun sering berpindah tempat tinggal. Rumah miliknya sudah dijual untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Koesniah, bagi masyarakat Banyuwangi siapa yang tak mengenalnya. Beliau salah satu artis lokal papan atas di era 70-80an dengan gending-gending gandrung dan kendang kempul Banyuwangian. Awal karirnya di dunia tarik suara berawal menjadi penari gandrung, dari situlah ia menjadi terkenal di Banyuwangi. Kemudian beliau mulai dilirik oleh produser dan masuk dapur rekaman. Gending-gending yang dibawakan laris manis di pasaran, bahkan hingga saat ini pun masih menjadi salah satu gandrung legendaries andalan di Banyuwangi, selain Gandrung Temu. Menurut budayawan senior Banyuwangi Almarhum Hasan Ali, Koesniah satu-satunya gandrung yang paling sering masuk dapur rekaman dibanding gandrung lainnya
Bagi para orang tua yang sempat menikmati masa kejayaan Koesniah, hingga saat ini masih terkesan dengan suara khas yang dimilikinya. Walaupun album-album Koesniah tidak sebanyak dulu, namun Koesniah masih melekat di hati masyarakat penikmat kesenian Banyuwangi. Di hari tuanya yang semakin renta, Mak Koesniah masih menerima tawaran nyinden di beberapa acara kesenian dan juga tawaran beberapa rekaman CD. Dari hasil itulah ia mencukupi kebutuhan hidupnya yang sangat pas-pasan.
Saya tidak sempat mengalami masa kejayaannya ketika Mak Koesnggadrung, namun di masa kecil saya lagu-lagunya sangat familier di telinga saya. Maklumlah sejak kecil saya sangat menyukai gending-gending banyuwangian, seperti anak-anak yang hidup di pedesaan Using yang gemar mendengarkan gending banyuwangian hingga luar kepala.
Beliau juga menceritakan kepada saya bahwa dirinya bebepa waktu lalu ketika diadakan perhelatan akbar Tour d’Ijen juga diundang sebagai sinden di acara penutupan yang dihadir Bupati Banyuwangi dan orang-orang penting di kota ini. Pengahargaan pun juga mengalir dari Pemkab berupa piagam dan sejumlah uang pembinaan. Tentunya nominal tersebut tak seberapa dibanding dengan apresiasi pada kesetiaannya menjaga tradisi dan suara emas yang dimilikinya ditengah derita hidup yang dialami.
“Piagam sak arat-arat Lek, tapi mosok ono picise, ono tapi mung sitik. Tapi isun cukup sukur wes diweni ”, ungkapnya dengan disertai senyum jujurnya.
Sungguh sangat ironi, ketika pemerintah mengadakan perhelatan akbar bertaraf internasional dengan menumpangi promosi pariwisata dan kebudayaan Banyuwangi, namun di sisi lain pelaku seni seperti Mak Koesniah yang terlibat langsung di acara itu masih menikmati hidup yang terpontang-panting di hari tuanya. Beliau hanya dibayar dengan nominal yang tak banyak dan selembar piagam namun di sisi lain Mak Koesniah tidak memiliki hunian tetap, Beliau tinggal di rumah sewa yang sangat sederhana. Bukankah ini sama dengan eksploitasi….?
Sang Pemimpin kota gerbang timur Jawa saat ini sedang gencar-gencarnya mengumumkan indeks keberhasilan pembangunan di berbagai bidang kehidupan di setiap pidatonya. Begitu juga even-even bertaraf internasionalnya seperti Banyuwangi Ethno Canival (BEC) dan Tour d’Ijen yang menjadi kebanggaanya. Berapa banyak uang rakyat dihabiskan untuk menyelenggarakan even yang hanya bisa dinikmati dengan membedakan kelas sosial penikmatnya itu? Sedangkan pelaku seni hanya dijadikan objek tanpa diberdayakan secara positif. Itulah yang menjadikan hati saya menangis ketika secara tidak sengaja diberi kesempatan bertemu dengan Mak Koesniah di rumah sederhanya itu.
Namun di tengah luputnya perhatian dari pemerintah setempat, ternyata ada secercah harapan yaitu sekumpulan masyarakat pecinta kesenian Banyuwangi yang tersebar di dunia maya telah tergerak hatinya untuk melakukan penggalangan dana. Sejumlah bantuan diserahkan kepada beberapa seniman dan seniwati Banyuwangi yang mengalami nasib kurang beruntung seperti Mak Koesniah dan Gandrung Temu yang juga maestro Gandrung Banyuwangi.
Akhirnya, saya pun berpamitan dengan beliau untuk melanjutkan perjalanan. Sebagai rasa bangga bertemu dengan Sang Legendaris, saya pun minta izin untuk foto bersama beliau. Semoga di masa tuanya, Mak Koesniah selalu diberi kesehatan dan kelancaran rezeki agar selalu tetap bisa berkarya untuk
sumber :
http://arsitekkampung.wordpress.com/2013/02/22/gandrung-koesniah-yang-berjuang-di-masa-tua/
=============================
***
DI toko-toko kaset kecil di wilayah paling ujung Jawa Timur ini, masih bisa ditemukan beberapa rekaman kaset yang pernah dibuat oleh Koesniah, lengkap dengan sampul kaset yang biasanya diusahakan semenawan mungkin: foto wanita itu dipajang dengan dandanan bagus, berkalung emas, menyungging senyum. Itulah sebagian sisa "kejayaan Koesniah". Beralihnya kegiatan Koesniah dari panggung gandrung dan studio rekaman ke lorong pasar sebagai penjual jamu, barangkali merupakan cerminan bagaimana nasib kesenian gandrung itu sendiri sekarang.
Gandrung, kesenian setempat yang konon punya sejarah sejak sekitar akhir 1800-an, mencapai perkembangannya yang luas ketika sebuah perusahaan kaset rekaman daerah (dalam hal ini Sampoerna Record Situbondo) mulai merekam jenis kesenian rakyat itu. Dalam skala industri rekaman kaset di daerah -- maksudnya industri rekaman yang berbasis di luar Jakarta -- dan biasanya mengkhususkan diri merekam kesenian-kesenian rakyat, jumlah kaset yang diproduksi pada setiap album memang hanya sekitar 3.000-5.000 kaset (bandingkan kaset lagu-lagu pop yang bisa dibuat sampai puluhan ribu, bahkan sampai ratusan ribu). Namun dari ketekunan dan ketelatenan para perekam di daerah dengan industri berskala kecil itulah, beberapa jenis kesenian rakyat memperpanjang napas hidupnya dan mampu terus hadir di tengah masyarakat.
Dari berbagai keterangan yang dihimpun Kompas, dulu kesenian berupa tarian diiringi lagu berlirik yang keseluruhannya boleh dikata merupakan gabungan estetika tari Jawa, Bali, dan Madura ini dibawakan oleh para penari laki-laki. Pada masa sebelum tahun 1890, konon sangat dikenal penari gandrung Banyuwangi bernama Marsan. Sepeninggal Marsan, untuk beberapa tahun gandrung katanya hilang dari peredaran. Baru pada tahun 1895 (menurut kepustakaan Tari Gandrung Banyuwangi yang diterbitkan oleh Kanwil Depdikbud Jawa Timur), muncul gadis kecil anak Mak Midah (Ramidah) dari desa Cungking sebagai penari gandrung wanita pertama. Dalam perjalanan kesenian itu selanjutnya, konon gandrung Semi (nama gadis itu)-lah yang menjadi cikal-bakal gandrung seperti dikenal di Banyuwangi sampai saat ini.
"Gandrung merupakan ibu dari semua jenis kesenian Banyuwangi," kata Hasan Ali yang banyak menggeluti kesenian daerah itu dan pernah menjabat di Dinas Kebudayaan. Maksudnya, gandrung punya pengaruh terhadap berbagai jenis kesenian lain di daerah itu, taruhlah semacam angklung, barong, mocoan, gendongan, dan lain-lain. Sebagai seni pertunjukan, gandrung biasanya diselenggarakan di tempat terbuka semalam suntuk. Lagu-lagu yang mengiringi tari gandrung sebagian besar bertema cinta. Umumnya, gending-gending gandrung berlaras slendro. Dalam beberapa hal, kesenian ini juga diselimuti aura mistik. Katanya, ada mantera-mantera khusus yang dibaca saat seorang penari gandrung merias diri. Konon, mantra itu punya kekuatan memikat orang lain.
Pada masa sebelum 1965, PKI sempat memanfaatkan gandrung dan angklung dalam strategi kooptasi mereka. Noda PKI itu sempat menjadikan gandrung (dan jenis-jenis kesenian rakyat lain) sempat tenggelam karena trauma. Baru pada sekitar tahun 1969 mulai hilang rasa was-was dan ragu-ragu terhadap kesenian rakyat ini. Merebaknya industri kaset menggantikan piringan hitam di awal 70-an ikut mengaksentuasi berbagai perkembangan kesenian daerah.
***
GLAMOUR macam apakah yang ditawarkan kepada para seniman tradisional ketika kesenian rakyat semacam gandrung masuk dalam industri rekaman? "Paling banter, rekaman dua kaset waktu itu saya menerima imbalan Rp 250.000," ujar Koesniah. Tiap kaset biasanya berisi antara 10-12 lagu. Dengan demikian, seperti dihitungnya sendiri, satu lagu ia menerima imbalan sekitar Rp 12.500. "Yang sana manis, yang sini pahit. Yang sana naik mobil, yang sini naik cikar," tambahnya berseloroh. (Gandrung sendiri kaya akan pantun seperti itu. Lihatlah misalnya lirik:
Pisang mas dibawa layar
Pisang mentah di dalam padi
Utang mas boleh dibayar
Utang cinta dibawa mati)
Koesniah mengaku terjun ke dunia gandrung sejak umur tujuh tahun. Pada umur sepuluh tahun, ia mengaku sudah banyak menerima tanggapan. Daya tarik di pentas itulah yang barangkali lalu membuatnya keburu menikah, pada usia yang masih tergolong muda. Ia mengaku pertama kali menikah umur 15 tahun (dalam hal perkawinan ini, sampai sekarang ia tercatat sudah menikah lima kali. Ia kini tinggal dengan suaminya yang kelima, bernama Abdul Kadir). Dia tak ingat lagi sudah membuat rekaman berapa kaset. Bahkan dia mengatakan, tak menyimpan satu pun rekaman yang pernah dibuatnya. "Yang sekarang saya punya hanya piring yang ada foto saya yang dikirimkan oleh orang Jepang," katanya.
Judul-judul rekaman yang pernah dibuatnya antara lain Sawunggaling, Lamaran, dan Lirak-Lirik. Menurut pengamatan Hasan Ali, suara Koesniah sebenarnya bukanlah yang terbaik kalau dibanding seniwati-seniwati gandrung yang lain. Daya improvisasi Koesniah disebutnya tidak terlalu istimewa. "Kalau ingin mendengar gandrung Banyuwangi yang asli, dengarlah suara Tatik," kata Hasan Ali, menyebut nama penyanyi gandrung yang lain. Tapi diakuinya, Koesniah memang lebih banyak membuat rekaman dibanding seniwati-seniwati yang lain. Selain itu, pada masa jayanya, Koesniah konon juga dikenal paling rupawan.
***
DENGAN kata lain, termasuk nasibkah dulu yang membuat Koesniah mendapat kesempatan lebih besar dibanding teman-temannya di dunia rekaman? Lalu, bagian dari nasib pulakah ketika kini Koesniah menjadi penjual jamu di Pasar Rogojampi? Dalam perspektif kebudayaan Jawa (yang berpusat di Jawa Tengah), gandrung pastilah bukan termasuk kesenian "adiluhung". Popularitasnya di tahun 70-an, lebih dikarenakan sukses bisnis industri rekaman yang ikut menopangnya waktu itu. Itulah "justifikasi dari eksistensinya" yang sebenarnya. Kini, dari Banyuwangi, Situbondo, sampai Jember, menurut beberapa pemilik toko kaset, penjualan kaset gandrung telah jauh merosot dibanding dangdut. Gandrung sebagai ibu kesenian terdesak oleh dangdut yang menusukkan pengaruh kemana-mana, ke berbagai jenis kesenian rakyat.
Dinamika riil industri seperti inilah -- dan bukan "pesta-pesta atau festival-festival kesenian" yang sifatnya temporer -- yang akhirnya banyak bicara terhadap kehidupan seorang seniman. Mbak Koesniah tidak ingin main gandrung lagi? "Kalau honornya tinggi sih mau, tapi kalau rendah, ya lebih baik jual jamu. Setiap hari jual jamu saya bisa mendapatkan uang lima belas ribu," tukasnya sambil tertawa. (Abdul Lathif)
teks foto:
JUAL JAMU -- Koesniah, mantan primadona gandrung di daerah Banyuwangi. Kesenian gandrung kini surut popularitasnya, dan Koesniah beralih dari panggung ke Pasar Rogojampi menjadi penjual jamu. Kompas/tif
Sumber: KOMPAS, Sabtu, 27-06-1992. Hal. 16. Foto: 1
Koesniah on Youtube :
0 comments:
Posting Komentar