Saat didaulat menyanyi, ia langsung menggandeng tangan sang istri dan menyanyi berdua. Lagu romantis ‘Hatimu Hatiku’ pun mengalir merdu. Usai menyanyi, ia melantai, menari Poco-Poco bersama para pastor dan suster.
Dia adalah Duta Besar RI untuk Takhta Suci Vatikan, Suprapto Martosetomo. Suasana penuh keceriaan dan keramahan pun terjalin dalam pertemuan yang diadakan Ikatan Rohaniwan-wati Indonesia di Kota Abadi, Roma (Irrika), beberapa waktu lalu. Suprapto memang dikenal luwes, ramah, dan bersahaja. Sikap ini berimbas pada kedekatannya dengan para pastor, suster, dan bruder asal Indonesia yang berkarya di Vatikan.
Keramahan serta keluwesan itu, menurut Suprapto, tak dapat dilepaskan dari latar belakang serta lingkungannya. ”Saya berasal dari desa dan terbiasa hidup guyub, layaknya masyarakat pedesaan,” kisah kelahiran Genteng, Banyuwangi, 24 April 1954 ini. Selain alam pedesaan yang ramah, kedua orangtuanya yang berprofesi pedagang juga punya andil besar membentuk karakternya. ”Berbuat baiklah kepada siapa saja,” ucapnya menirukan nasihat sang ayah. Sementara mendiang ibunya selalu mengingatkannya, ”Jangan membuat orang kecewa. Kalau kecewa, orang tak akan kembali lagi!”
Dua nasihat itu masih terus terngiang di telinga dan hatinya. Dua hal itu pula yang terus ia pegang saat menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang diplomat. Sikapnya yang ramah pun berbuah. Saat berkarya di Manila, Filipina, rumahnya menjadi tempat mengungsi para mahasiswa asal Indonesia. ”Saat itu terjadi usaha kudeta Presiden Cory Aquino. Tentara pemberontak sudah menguasai wilayah Metro Manila termasuk tempat mahasiswa. Maka, demi keselamatan, para mahasiswa tinggal di tempat saya. Saya kan harus melindungi masyarakat Indonesia!” kenang Suprapto.
Kunjungi biara
Suprapto tidak hanya luwes dalam bergaul. Ia juga serius dan bertanggung jawab dalam mengemban tugas. Saat ditemui di kantornya, Suprapto sedang asyik membenahi arsip pribadinya. Ia sedang mengliping berbagai berita. ”Kebiasaan ini sudah lama saya lakukan. Dengan cara ini, saya bisa mengikuti perkembangan terbaru sekaligus memiliki arsip yang siap digunakan kapan pun dibutuhkan,” jelasnya.
Suprapto berkeyakinan, sebagai duta besar, ia harus memiliki informasi yang banyak dan akurat. Selain dengan kliping, Suprapto juga kerap mengikuti pertemuan Asia Group. Asia Group adalah perkumpulan duta besar untuk Vatikan khusus dari kawasan Asia. Sebulan sekali kelompok ini bertemu untuk saling tukar informasi. Baginya, informasi yang lengkap dan akurat amatlah penting. ”Seorang duta besar harus siap dengan semua permasalahan. Informasi yang kami peroleh amat berguna dan dapat digunakan sebagai masukan ke dalam negeri,” paparnya.
Dalam menjalankan tugas, Suprapto tak mau tinggal diam di kantor. Ia kerap berkeliling mengunjungi biara-biara di mana ada orang Indonesia tinggal di situ, seperti, biara di Kota Orte, Ovada, dan Allesandria. Di antara biara-biara itu, ada yang tergolong biara kontemplatif alias tertutup. Di biara kontemplatif, seperti di Vignanelo, ia dan rombongan diterima di ruang tamu. Sementara para suster muncul dari balik terali besi. Meski demikian, keakraban dapat terjalin. ”Waktu itu, kami bernyanyi bersama. Saya dan rombongan di ruang tamu, para suster menyanyi dari balik terali besi itu,” cerita bapak dua anak ini.
Ke Indonesia
Sebagai Duta Besar untuk Vatikan, Suprapto merasa perlu mengetahui seluk-beluk Vatikan dengan baik. Vatikan adalah salah satu negara di Eropa yang sejak awal telah mengakui kemerdekaan Indonesia. Sejak tahun 1947, sudah ada perwakilan Vatikan di Jakarta yang disebut Apostolic Delegate. Hubungan diplomatik kemudian dikukuhkan tahun 1950.
Menurut Suprapto, meski kecil, negara Vatikan amat disegani dan memiliki pengaruh yang sangat besar. Selain itu, Vatikan adalah negara yang mempunyai jaringan terbesar di dunia. ”Lewat jaringan yang dimilikinya, informasi dapat diperoleh secara cepat dan tepat,” tutur Suprapto dengan nada kagum. Bagi Indonesia, menjalin hubungan dengan Vatikan amat penting artinya. ”Saat diadakan uji kelayakan di depan anggota Komisi I DPR, saya menekankan soal ini,” tandas alumnus Universitas Gajah Mada ini.
Di mata Suprapto, Paus Benediktus XVI adalah orang yang sangat arif. Banyak hal besar telah diupayakan Paus asal Jerman ini. ”Kunjungan bersejarah Raja Abdullah dari Arab Saudi ke Vatikan, tahun 2007, serta niat baik Raja Bahrain, Hamad bin Isa Al-Khalifa untuk menyumbang sebidang tanah guna pembangunan gereja di negaranya, adalah berkat usaha Paus Benediktus juga. Maka, saya sangat berharap Paus dapat berkunjung ke negara kita Indonesia,” katanya.
Antaragama
Setiap kedutaan memiliki kekhasan. Menurut Suprapto, Kedutaan RI di Vatikan memiliki kekhasan, terutama dalam bidang dialog antaragama. Bidang ini memang selalu menjadi hal yang diprioritaskan di Kedutaan Besar RI untuk Vatikan. Masalah ketegangan antara Barat dan Islam masih sering didengar Suprapto. Harus diakui, bahwa di dalam masyarakat Barat masih sering beredar ‘ketakutan’ pada Islam atau Islamofobia. ”Barangkali hal ini muncul sebagai dampak pemberitaan di media massa yang kurang berimbang. Maka, apa pun alasannya, harus ada kesamaan persepsi agar ketegangan dapat diatasi. Kesamaan pandangan bisa dicapai antara lain dengan cara berdialog,” paparnya.
Semangat berdialog, menurut Suprapto, menjadi salah satu kunci untuk merekatkan kehidupan antaragama di Indonesia. Indonesia, menurut Suprapto, adalah negara yang cukup aktif mengupayakan dialog antaragama, baik di forum bilateral, regional maupun internasional. Penggemar olah raga bulutangkis ini juga getol mengikuti forum dialog antaragama. Misalnya, pada Juni 2008, Suprapto mengikuti The 2nd World Peace Forum yang diselenggarakan Muhammadiyah, di Jakarta. Forum yang dihadiri berbagai kalangan agama dari Asia, Australia, Eropa maupun Timur Tengah ini bertujuan mencapai perdamaian dunia dan menghindari penyalahgunaan agama untuk tujuan-tujuan politik. Kegiatan terakhir berskala internasional yang dihadiri Suprapto adalah International Meeting of Prayer for Peace di Nicosia, Siprus. Kedutaan RI untuk Vatikan juga pernah menyelenggarakan dialog antaragama di Vatikan, tahun 2007. Acara ini digelar bekerja sama dengan Kedutaan Besar Australia untuk Vatikan.
Suprapto menyadari, dialog tidak menghasilkan hasil yang cepat atau langsung kelihatan. Meski demikian, ia yakin bahwa melalui dialog, segala kecurigaan dan salah sangka akan dapat diatasi. ”Sekurang-kurangnya dari dua belah pihak mulai muncul toleransi,” katanya. Sebenarnya toleransi dan hidup rukun antarpemeluk agama adalah sesuatu yang amat biasa di dalam masyarakat.
Hal ini amat terasa dalam kehidupan keluarga Suprapto. Ia lahir dan besar dalam keluarga Islam. Ia pun memeluk agama Islam. Di keluarga besarnya, ada beberapa saudaranya yang beragama Kristiani. Bahkan, salah satu tante dari pihak ayahnya menjadi seorang suster. ”Kami terbiasa hidup rukun tanpa mempersoalkan agama. Saat saya kuliah di UGM, beberapa sahabat saya beragama Kristiani. Kami bergaul akrab tanpa pusing status agama,” ujarnya. Bila orang saling mengenal dengan baik, maka segala kecurigaan akan sirna. ”Dialog adalah cara yang paling ampuh mendekatkan kita,” tuturnya memungkasi pembicaraan.
Biodata
Nama: Suprapto Martosetomo
Tempat/tanggal lahir: Banyuwangi, 24 April 1954
Anak keenam dari tujuh bersaudara
Istri: Yogyaswara Kustantina Suprapto
Anak:
• Nanda Pradhana Suprapto (24)
• Lorenza Pradhina Suprapto (21)
Pendidikan:
• SMA Negeri I Yogyakarta
• S-1 Fakultas Ilmu Sosial Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Pekerjaan:
• Mulai bekerja di Departemen Luar Negeri (25 Maret 1982)
• Sekretaris III Staf Bidang Ekonomi KBRI di Manila, Filipina (1986-1990)
• Sekretaris II Kepala Bidang Ekonomi merangkap Pensosbud dan Konsuler, Konsulat Indonesia di Karachi, Pakistan (1992-1994)
• Kepala Bidang Ekonomi KBRI di London, Inggris (1999-2004)
• Duta Besar Berkuasa Penuh RI untuk Takhta Suci Vatikan (September 2007- )
saat ini beliau masih aktif di deplu sebagai Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan
0 comments:
Posting Komentar