Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Genjer-genjer nong kedokan pating keleler
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Emak'e thole teko-teko mbubuti genjer
Ulih sak tenong mungkur sedhot sing tolah-toleh
Genjer-genjer saiki wis digowo mulih
Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasar
Genjer-genjer esuk-esuk didol ning pasarDijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Dijejer-jejer diuntingi podho didhasar
Emak'e jebeng podho tuku nggowo welasah
Genjer-genjer saiki wis arep diolah
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Genjer-genjer mlebu kendhil wedang gemulak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Setengah mateng dientas yo dienggo iwak
Sego sak piring sambel jeruk ring pelonco
Genjer-genjer dipangan musuhe sego
Yah, itu lagu berjudul Gendjer-gendjer. Sebuah band dari Los Angeles, Dengue Fever, membawakan lagu itu dalam bahasa Khmer. Saya dan sahabat -mungkin karena kurang gaul, baru mengetahui karya Dengue Fever itu, meski sudah diunggah ke Youtube sejak Juni 2011. Terlambat tidak apalah, daripada tidak tahu sama sekali :)
Meski dibawakan dalam bahasa orang, Gendjer-gendjer tetap menghipnotis saya, membayangkan bagaimana perjalanan panjang lagu itu mulai diciptakan dalam kepedihan, dinyanyikan sebagai simbol perlawanan, dicekal, hingga kemudian dinyanyikan kembali sebagai kenangan.
Barangkali itulah alasan mengapa Dengue Fever memilih Gendjer-gendjer. Sang gitaris, Zac Holtzman, menulis sejarah kelam tentang lagu yang diciptakan Muhammad Arief tersebut: "Lagu itu awalnya ditulis selama pendudukan Jepang di Indonesia selama Perang Dunia II. Ketika makanan begitu langka bahwa orang-orang terpaksa makan gendjer, gulma yang tumbuh di sawah".
Zac meneruskan, "Lagu kembali muncul pada 1960-an di Indonesia ketika menjelang kudeta militer. Siapapun yang tertangkap mendengarkan atau bernyanyi gendjer-gendjer dianggap musuh pemerintah."
Muhammad Arief, lelaki asal Banyuwangi, adalah seorang seniman angklung yang tinggal di Temenggungan. Lagu 'Genjer-genjer', ia ciptakan tahun 1943, untuk menggambarkan sulitnya kehidupan saat pendudukan Jepang.
Romusha yang dipaksakan saat jaman Jepang telah membuat sawah-sawah petani terbengkalai. Kelaparan di mana-mana. Di tengah kondisi itu, istri Mohammad Arif, Sayekti menghidangkan genjer sebagai makanan. Genjer yang menjadi gulma di sawah yang biasanya menjadi makanan bagi ayam dan itik, akhirnya dikonsumsi manusia.
Mulanya lagu genjer-genjer dibawakan Muhammad Arif bersama grup kesenian angklungnya. Lagu itu baru terkenal sekitar tahun 1960-an setelah dibawakan oleh Lilis Suryani dan Bing Slamet, kemudian sering diputar di radio.
Partai Komunis Indonesia menjadikan lagu tersebut sebagai propaganda, dan inilah awal mengapa genjer-genjer akhirnya distigmakan sebagai lagu 'kiri'. Dalam film Pengkhianatan G30S/PKI karya Arifin C. Noer, digambarkan bahwa lagu genjer-genjer dinyanyikan oleh Gerwani saat menyiksa 7 jenderal di Lubang Buaya.
Selama Orde Baru lagu genjer-genjer kemudian dilarang, hilang di peredaran, senasib dengan penciptanya yang hingga kini tak pernah diketahui nasib dan pusaranya.
Genjer-genjer kembali dinyanyikan setelah Era Reformasi atau sekitar 1999. Video klip Lilis Suryani dan Bing Slamet di era tahun 60-an diunggah ke youtube, disetel kembali di radio. Berbagai band musik Indonesia mulai berani membawakan lagu ini ke panggung. Dan, ratusan tulisan untuk meluruskan sejarah tentang lagu ini sudah tersebar di media massa.
Saya pernah menemui Sayekti dan Sinar Syamsi, anak Muhammad Arief, pada tahun 2006. Mereka tinggal di sebuah rumah yang sederhana, bercat tembok kusam, di jalan Basuki Rahmat, kota Banyuwangi.
Saat bertemu, Sayekti tidak lagi mampu berbicara (Sayekti meninggal satu tahun kemudian pada 2007). Hanyalah Sinar Syamsi yang menceritakan sepenggal kisah tentang ayahnya, kisah saat dia masih berusia 11 tahun. Dia menunjukkan tiga buku berisi lirik-lirik lagu tulisan tangan Muhammad Arief. Ada lirik lagu genjer-genjer di sana, di antara kertas-kertas yang lusuh, tak lagi utuh.
Dan, lagu yang hampir berumur 70 tahun itu masih syahdu dinyanyikan sepanjang masa....
***
Sinar Syamsi, anak pencipta lagu Genjer-genjer
Muhammad Arif 'Genjer-Genjer'
Luka yang dirasakan selama bertahun-tahun hidup sebagai anak anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) memang sudah mengering. Namun, kehidupan yang tak kunjung berubah membuat Sinar Syamsi, anak pencipta lagu Genjer-Genjer Muhammad Arief, memilih pindah kewarganegaraan. “Saya ingin pindah ke Belanda atau China,” katanya.
Lembaran di tiga buku catatan lagu itu tidak lagi utuh. Kertasnya lapuk dimakan usia. Meski masih bisa terbaca jelas, tulisan yang tergores di atas kertas itu pun mulai memudar. Di tiga buku itulah tertuang naskah asli lagu Genjer-genjer (Gendjer-Gendjer) milik sang penciptanya, Almarhum Muhammad Arief .
Lagu berjudul Genjer-genjer menjadi salah satu penggalan cerita yang mengiringi peristiwa Gerakan 30 September atau yang dikenal dengan sebutan G30S-Partai Komunis Indonesia. Konon, lagu yang menceritakan tentang tanaman genjer (limnocharis flava) itu dinyanyikan oleh anggota Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani)-PKI, saat menyiksa para petinggi TNI di Lubang Buaya.
Cerita mengerikan versi Orde Baru yang lambat laun mulai diragukan seiring tidak terbuktinya penyiksaan para jenderal itu, membuat image lagu Genjer-genjer ikut pula mengerikan. Apalagi, G30S diikuti rentetan penculikan dan pembunuhan di beberapa kantong PKI. Termasuk di Banyuwangi, tempat pencipta lagu Genjer-genjer Muhammad Arief tinggal.
Benarkah lagu Genjer-genjer identik dengan PKI? Pertanyaan lama yang selalu dibantah, namun tetap tidak menghapus stigma. Budayawan Banyuwangi Fatrah Abbal, 76, menceritakan, lagu Genjer-genjer diilhami oleh masakan sayur genjer yang disajikan Ny. Suyekti, Istri Muhammad Arief di tahun 1943.
“M.Arief heran, tanaman yang awalnya dikenal sebagai makanan babi dan ayam itu ternyata enak juga dimakan manusia, akhirnya ia mengarang lagu Genjer-genjer,” katanya. Begitu terkenalnya lagu yang nadanya mirip dengan lagu rakyat berjudul Tong Ala Gentong Ali Ali Moto Ijo itu hingga Seniman Bing Slamet dan Lilis Suryani pun menyanyikannya.
Tulisan tangan asli lirik Genjer-Genjer
Kedekatan lagu itu dengan PKI tidak bisa dilepaskan dengan kondisi politik di tahun 1965. Masa di mana politik Indonesia membuka ruang bagi ideologi apapun itu membuahkan persaingan antar partai politik. Termasuk persaingan dalam hal berkesenian.
Seperti Partai Nasional Indonesia (PNI) dengan Lembaga Kesenian Nasional (LKN), Partai Nahdlatul Ulama (NU) dengan Lesbumi, Partai Komunis Indonesia (PKI) dengan Lembaga Kesenian Rakyat (Lekra) serta Masyumi dengan Himpunan Seni dan Budaya Islam (HSBI). “Lekra menggandeng seniman Banyuwangi, termasuk Muhammad Arief,” kata Fatrah yang dulu aktif di HSBI ini.
Sejak digandeng Lekra, seni Banyuwangi-an semakin dikenal. Banyak lagu-lagu Banyuwangi yang sering dinyanyikan di acara PKI dan underbownya. Termasuk lagu Genjer-genjer yang diciptakan di tahun 1943, lagu Nandur Jagung dan lagu Sekolah.
Muhammad Arief sebagai seniman pun ditawari bergabung dengan Lekra dan ditempatkan sebagai anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi. Seniman yang dulu bernama Syamsul Muarif itu juga diminta mengarang lagu yang senapas degan ideologi PKI. Seperti lagu berjudul Ganefo, 1 Mei, Harian Rakyat, Mars Lekra dan Proklamasi.
“Kalau kita resapi, lagu Genjer-genjer memang tidak memiliki makna apa-apa, hanya bercerita tentang tanaman genjer yang dulu dianggap sampah kemudian mulai digemari,” kata Fatrah. “Genjer-genjer, nong kedok’an pating keleler, emak’e tole, teko-teko, mbubuti genjer, oleh sak tenong, mungkor sedot, seng tole-tole, genjer-genjer, saiki wis digowo muleh,” Fatrah menyanyikan bait lagu Genjer-genjer.
Entah, siapa yang memulai, pasca G30S, syair lagu Genjer-genjer pun dipelesetkan dengan syair yang menceritakan aksi penyiksaan para jenderal korban G30S. “Jendral Jendral Nyang ibukota pating keleler, Emake Gerwani, teko teko nyuliki jendral, Oleh sak truk, mungkir sedot sing toleh-toleh, Jendral Jendral saiki wes dicekeli,” Begitu bunyi gubahan lagu itu. “Gubahan itu sebenarnya tidak ada!” kata Fatrah.
Sinar Syamsi (53) anak semata mayang Muhammad Arief dan Suyekti menceritakan, tidak lama setelah peristiwa G30S meletus di Jakarta, terjadi demonstrasi besar di Alun-Alun Kota Banyuwangi. Demonstrasi itu menuntut agar para anggota PKI ditangkap. Muhammad Arief adalah salah satu target kemarahan massa. Di tahun itu mantan anggota TNI berpangkat Sersan itu adalah anggota DPRD Kabupaten Banyuwangi dari PKI. Sekaligus aktivis lembaga kebudayaan di bawah PKI, Lembaga Kesenian Rakyat atau Lekra.
“Orang-orang menyerbu ke rumah saya di Kawasan Tumenggungan Kota Banyuwangi, mereka membakar rumah dan seisinya,” kenang Syamsi yang ketika peristiwa itu terjadi sudah berumur 11 tahun. Muhammad Arief melarikan diri bersama anggota Lekra/PKI yang lain. Hingga akhirnya tertangkap dan markas CPM Malang. “Setelah itu nasib bapak tidak mendengar lagi hingga sekarang,” kenang Sinar Syamsi.
Sinar Syamsi
Meski begitu, Syamsi tetap menganggap Muhammad Arief sebagai pahlawan keluarga. Naskah asli lagu yang hingga kini masih “tabu” untuk dinyanyikan itu pun disimpan. “Bagi saya, buku-buku catatan ini adalah sejarah keluarga yang harus dijaga, agar anak cucu saya kelak bisa mengetahui dengan pasti apa yang terjadi,” kata Sinar Syamsi.
Sinar Syamsi menyadari, sejarah keluarganya hitam kelam akibat peristiwa itu. Ibunda Sinar Syamsi, Suyekti sempat stress karena stigma keluarga PKI. “Politik telah membuat keluarga saya harus mengalami peristiwa yang mengerikan selama bertahun-tahun, hingga ibu saya meninggal dunia 26 Januari 2007 lalu,” kenang Syamsi.
Dengan alasan itu jugalah, laki-laki yang sempat di-PHK beberapa kali dengan alasan tidak jelas ini pun mulai berpikir untuk pindah kewarganegaraan. Belanda dan China adalah dua negara yang diliriknya. “Dengan membawa naskah asli ini, saya ingin pindah ke Belanda dan China. Siapa tahu di sana posisi saya sebagai anak pencipta lagu Genjer-Genjer lebih dihargai,” katanya.
Genjer-genjer, Karya Seni Korban Politik
Muchus Budi R. - detikNews
Solo - Sebagian orang menuding Lagu Genjer-genjer dicipta PKI untuk menyemangati perjuangan mereka merebut kekuasaan. Tapi sejarah mencatat, inspirasi penciptaan lagu tersebut adalah situasi kehidupan warga Banyuwangi yang teramat menderita di masa penjajahan Jepang.
Inilah syair lengkap Lagu Genjer-genjer :
genjer-genjer neng ledhokan pating keleler
emake thole teka-teka mbubuti genjer oleh satenong mungkur sedhot sing tolah-tolih
genjer-genjer saiki wis digawa mulih
gendjer-gendjer esuk-esuk digawa nang pasar
dijejer-jejer diuntingi padha didhasar emake jebeng tuku genjer wadhahi etas
genjer-genjer saiki arep diolah
genjer-genjer mlebu kendhil wedange umob
setengah mateng dientas digawe iwak
sega sapiring sambel penjel ndok ngamben
genjer-genjer dipangan musuhe sega
terjemahan:
genjer-genjer tumbuh liar di selokan
seorang ibu datanglah mencabutinya
dapat sebakul dalam memanennya
genjer (itu) kini tlah dibawanya pulang
genjer-genjer pagi harinya dibawa ke pasar
dijajar, diikat diletakkan di lantai pasar
seorang ibu (lain) membelinya dimasukkan tas
genjer (itu) kini siap dimasak
setengah matang ditiriskan untuk lauk
nasi sepiring (dan) sambal di dipan
genjer (akhirnya) dimakan bersama nasi
Konon lagu tersebut diciptakan seorang seniman musik bernama Muhammad Arief ketika melihat situasi warga Banyuwangi yang kesulitan makan saat penjajahan Jepang. Karena situasi terjepit itulah warga Banyuwangi terpaksa mengolah daun genjer (limnocharis flava) atau enceng gondok untuk dimakan sebagai sayuran.
Tanaman ini semula hanya dianggap gulma, atau pengganggu. Namun karena kelaparan mendera dan panen sawah tidak mencukupi, akhirnya genjer ini menjadi pilihan dimakan. Jual-beli genjer di pasar juga mulai dilakukan warga.
Lagu tersebut menjadi populer beberapa tahun berikutnya. Bahkan pada dekade 1960-an lagu tersebut mencapai puncak popularitasnya. RRI dan TVRI, dua media massa utama saat itu, sering memutarnya. Lagu tersebut kemudian menjadi lagu publik yang dinyanyikan oleh siapapun; dari anak-anak hingga orangtua, dari politisi hingga buruh dan kuli.
PKI, salah satu parpol besar saat itu, termasuk yang sering mempopulerkan lagu tersebut dalam berbagai pertemuan. Mungkin maksudnya adalah untuk menghibur dan mengumpulkan massa. Konon Njoto, salah satu tokoh PKI, adalah penggemar berat lagu Banyuwangi tersebut.
Tapi Manteb Sudharsono, dalang kulit ternama, mengatakan bukan hanya PKI yang mempopulerkan lagu itu. Pada tahun-tahun tersebut, dalang legendaris Ki Nartosabdo juga sering menyanyikan Genjer-genjer dalam pementasannya karena memang lagu itu sangat populer. Padahal Ki Nartosabdo adalah seniman yang tergabung dalam Lembaga Kebudayaan Nasional (LKN) yang bernaung di bawah PNI.
Saat itu Manteb masih menjadi murib Ki Nartosabdo. Dia mengaku pada waktu itu sering mengikuti pementasan Ki Narto di berbagai daerah untuk memperdalam kemampuan seni pedalangan kepada sang maestro pewayangan Jawa asal Semarang itu.
Popularitas lagu Genjer-genjer mencapi puncak ketika masuk dapur rekaman. Tak tanggung-tanggung, tercatat ada beberapa penyanyi pernah melantunkan lagu untuk diabadikan. Dua di antaranya adalah Lilis Suryani dan Bing Slamet, penyanyi besar pada era tersebut.
Namun masa keemasan Genjer-genjer segera berhenti seiring situasi politik saat itu. Pengganyangan PKI oleh Orde Baru, merembet juga ke lagu rakyat yang sedang populer ini. Dalihnya adalah, lagu tersebut lagu milik PKI dan diciptakan oleh seorang seniman Lekra.
Bahkan dalam penulisan sejarah versi Orde Baru, pada malam pembunuhan para jendral TNI AD di Lubang Buaya, para Pemuda Rakyat dan Gerwani (dua organisasi kepemudaan underbouw PKI) berpesta-pora dengan menyanyikan lagu tersebut.
Belakangan data sejarah versi Orde Baru tersebut dibantah oleh Sersan Bungkus, anggota Cakrabirawa. Sekeluar dari penjara, Bungkus mengatakan tidak ada sukarelawan sipil, apalagi pesta-pora di Lubang Buaya pada malam itu. Setelah diambil paksa dari kediaman masing-masing, dalam suasana hening dan tegang Cakrabirawa menyerahkan para jendral itu kepada Garnisun untuk dieksekusi keesokan harinya.
sumber :
http://news.detik.com/read/2009/09/14/133728/1203091/10/genjer-genjer-karya-seni-korban-politik
*lagu genjer-genjer versi band dengue fever dalam bahasa khmer
*lagu genjer-genjer versi asli oleh bing slamet.
*tanaman genjer
*lagu genjer-genjer versi band dengue fever dalam bahasa khmer
*tanaman genjer
6 tahun ora ono sing komentar, iki aku komentar yo bro. Apik ki konten ne
BalasHapus